Ini adalah tempat yang misterius. Tempat berbahaya yang tak boleh terjamah manusia. Makhluk gaib melindungi tempat ini dan konon kabarnya hanya muncul sesekali di tempat ini. Taman Cahaya Bulan. Di tempat inilah terjadinya awal dari legenda yang menyedihkan itu.
Di bawah tatapan Seol Hwa yang melihat mereka dari jauh, Biksu So Jung mencoba mengembalikan akal sehat Wol Ryung dengan mengatakan kalau banyak tentara yang mencari wanita yang baru saja Wol Ryung selamatkan. Dan yang lebih berbahaya lagi adalah tentara itu dipimpin oleh kepala polisi Dam Pyeong Joon.
Wol Ryung heran mendengar nama yang disebut Biksu So Jung dengan nada yang berbeda. Biksu So Jung menjelaskan siapa Dam Pyeong Joon. Satu dari sedikit manusia yang mempunyai kemampuan khusus, berbeda dengan kebanyakan orang yang bisa diusir dengan hanya menggunakan pedang saja, “Menyimpan seorang wanita di dalam hatimu akan sangat membahayakan jiwamu!”
Mendengar nasehat temannya, Wol Ryung hanya bisa menatap wanita yang sedang mereka perbincangkan, nampak dari wajahnya ia sedang berperang batin.
Dan inilah Dam Pyeong Joo, sedang mencari jejak Seol Hwa. Pria yang tak banyak bicara. Salah satu anak buahnya menemukan obor yang dibawa Seol Hwa, menguatkan keyakinan mereka kalau arah pencarian mereka sudah benar. Dam Pyeong Joo juga menemukan tusuk konde milik Seol Hwa.
Terdengar pekik suara elang yang terbang menjauh, dan Dam Pyeong Joo mengamati elang yang terbang itu.
Elang itu memekik lagi dan terbang jauh, melintasi hutan, sungai dan hingga sampai di taman cahaya bulan. Si Elang memekik lagi, melewati Wol Ryung yang wajahnya menampakkan kekhawatiran saat mendengar pekikan si Elang.
Tapi ekspresi khawatir itu sirna saat mendengar panggilan lembut Seol Hwa. Wajahnya berubah ceria saat ia menghampiri gadis itu.
Seol Hwa tak ingin membahayakan pria yang menyelamatkannya itu dan ia merasa kalau ia sebaiknya pergi meninggalkan Wol Ryung. Ia adalah putri pengkhianat dan sekarang menjadi budak negara yang melarikan diri.
“Terus?” tanya Wol Ryung polos.
“Selama aku masih di sini, mereka akan terus mencariku di gunung ini dan kau akan mendapat kesulitan karena telah menyembunyikanku.”
Wol Ryung mengangguk seakan ia memahami kekhawatiran Seo Hwa, “Terus?”
“Aku tak ingin membahayakan penyelamatku,” ungkap Seo Hwa sopan dan lembut, “Karena itulah aku ingin mengucapkan selamat tinggal.”
Wol Ryung tertawa, membuat Seo Hwa heran. Wol Ryung menjelaskan kalau ia tak akan pernah mendapatkan bahaya karena masalah itu. Begitu pula dengan Seo Hwa yang ada berada di sisinya.
Seo Hwa menyela ingin membantah, tapi Wol Ryung tak mendengarkan. Ia malah mengacungkan karung yang ia bawa dari tadi, “Kupikir kau pasti lapar maka aku membawakanmu makanan. Apa kau mau lihat?”
Seo Hwa terkaget-kaget mendengar menu makanan yang di bawa Wol Ryung. Wol Ryung mengangkat kelinci hidup ke depan wajah Seo Hwa, “Kau suka mana? Ini?” dan tangan satunya mengacungkan kura-kura, “Atau ini?”
Seo Hwa speechless melihat kedua binatang yang bisa menjadi binatang piaraan itu. Ia mencari-cari makanan lain yang dibawa Wol Ryung dan ia menemukannya. Ia mengambil salah satu apel di meja dan menyatakan kalau ia akan memakan apel saja.
Wol Ryung tersenyum senang dan menyuruh Seo Hwa menunggu sebentar.
Ia kembali lagi dengan membawa apel yang baru saja ia petik dari pohon. Dengan bangga ia menaruh apel yang ia petik di atas meja. Sekitar 5 kiloan, “Untuk mengisi perutmu, kau harus makan sebanyak ini.”
Bwahaha.. Seo Hwa tersenyum mendengar ucapan Wol Ryung. Tapi ia segera menangkap tangan Wol Ryung, menahan Wol Ryung yang ingin mengambilkan apel lagi untuk Seo Hwa, “Sudah cukup. Terima kasih atas makanan ini.”
Seakan tersengat akan sentuhan itu, Wol Ryung terpana merasakan sentuhan Seo Hwa dan kemudian tersenyum lebar. Aww…
Wol Ryung ini sepertinya tipe pria yang tak mengenal kata sedikit. Saat Seo Hwa menciumi harumnya bunga yang ada di dekat gua mereka, Wol Ryung membawakan sepelukan besar bunga yang sama.
Saat Seo Hwa terpesona pada kupu-kupu biru yang saling berkejaran, Wol Ryung membawakan karung, yang saat dibuka ada berpuluh-puluh kupu-kupu biru yang terbang mengitari Seo Hwa. Seo Hwa tertawa gembira walau kesedihan (mungkin karena teringat adik dan Dam) masih tetap terpancar di wajahnya.
Maka Wol Ryung menarik tangan Seo Hwa dan membawanya ke tepi tebing. Dan Seo Hwa kembali terpesona pada keindahan tempat yang didiami Wol Ryung ini. Matanya tak puas-puas memandang danau yang dikelilingi tebing, “Cantiknya.. Benar-benar cantik..”
Sedangkan Wol Ryung? Ia terpesona melihat wajah Seo Hwa, “Kau cantik saat kau tersenyum. Benar-benar cantik..”
Malam harinya, mereka berbincang-bincang dan Seo Hwa bertanya sejak kapan Wol Ryung tinggal di gunung ini. Wol Ryung tersenyum dan berkata kalau ia tak lagi menghitung karena sudah sangat lama. Saat ditanya tentang keluarganya, Wol Ryung mengatakan kalau ia selalu tinggal sendiri.
Seo Hwa pun menceritakan dirinya yang memiliki seorang adik laki-laki dan seorang pelayan yang sudah seperti saudara sendiri, Dam. Saat ditanya keberadaan mereka, Seo Hwa pun menjawab kalau adiknya terpisah di gunung saat mereka melarikan diri sedangkan Dam berada di Choonhwagwan agar mereka bisa melarikan diri, “Walaupun aku sangat khawatir pada keselamatan mereka, aku tak dapat berbuat apapun selain tetap tinggal di sini bersamamu.”
Wol Ryung menatap wajah murung Seo Hwa, “Apakah kau akan merasa lebih tenang jika kau dapat mendengar kabar dari mereka? Apakah saat itu kau juga bisa sering tersenyum?” Seo Hwa tak mengerti kenapa Wol Ryung begitu baik padanya dan Wol Ryung pun menjawab, “Aku ingin melakukan segalanya untukmu. Itu yang ingin hatiku lakukan sekarang.”
Betapa terkejutnya Wol Ryung saat ia melihat tubuh seorang pria yang dikerangkeng bersama Seo Hwa sekarang telah menjadi mayat di tiang gantungan.
Gisaeng Chun meminta pada Jo Gwan Woong agar menurunkan mayat Yoon sekarang karena sudah 4 hari berlalu. Tapi Jo Gwan Woong malah berencana untuk menggantung mayat itu 4 hari lagi untuk memberi peringatan pada masyarakat agar patuh padanya dan contoh nyata adalah hal yang paling efektif. Saat diingatkan kalau Yoon adalah putra temannya sendiri dan juga adalah bangsawan, Jo Gwan Woong hanya menjawab sinis, “Sekarang ia tak lebih dari putra pengkhianat dan budak yang melarikan diri.”
Gisaeng Chun heran dengan sikap Jo Gwan Woong yang tak berperasaan. Dan pejabat itu semakin sinis dan bertanya menyudutkan, “Dan kenapa kau sangat menaruh perhatian pada hal ini. Apakah kau dulu punya hubungan gelap dengan Wakil Menteri Yoon?” Dan Jo Gwan Woong menyuruh Gisaeng Chun untuk tutup mulut atau ia akan menyuruh Gisaeng Chun bertanggung jawab atas pelarian Seo Hwa.
Tiba-tiba terdengar suara pelayan Jo yang memberitahu kalau mayat Yoon sudah hilang.
Wol Ryung kembali dengan murung. Seo Hwa yang sudah tak sabar menunggu kedatangannya langsung bertanya tentang kondisi adik dan pelayannya. Untuk sesaat Wol Ryung ragu. Ia teringat pada beberapa saat yang lalu ia menguburkan mayat Yoon. Namun ia kemudian tersenyum dan berkata, “Keduanya… tampak baik-baik saja.”
Seo Hwa hampir tak percaya mendengar kabar membahagiakan ini. Matanya berkaca-kaca saat mendengar ucapan Wol Ryung berikutnya, “Jadi kuminta tenangkanlah hatimu sekarang. Jangan berpikir untuk pergi lagi dan tinggallah di sini bersamaku. Mulai sekarang aku akan melindungimu.”
Mendengar janji Wol Ryung, Seo Hwa tak kuasa menahan air matanya. Ia menghambur ke pelukan Wol Ryung dan berterima kasih kepadanya, “Sekarang aku merasa tenang. Aku merasa akhirnya aku dapat bernafas kembali.”
Sepertinya Wol Ryung baru pertama kali mendapat pelukan dari orang lain (atau lebih tepatnya makhluk lain). Dan ini juga kebohongan yang pertama kali ia ucapkan pada Seo Hwa. Tangannya diam di udara, tak berani menyentuh punggung Seo Hwa untuk membalas pelukannya.
Seo Hwa pun menyadari tindakannya yang tak patut. Ia segera melepaskan pelukannya dan minta maaf. Tapi Wol Ryung malah menyentuh pipinya, mengusap air matanya. Dan seketika itu muncul cahaya seperti kunang-kunang, yang kali ini berwarna hijau.
Wol Ryung seakan sadar akan tindakannya. Ia berbalik pergi meninggalkan Seo Hwa. Namun sedetik kemudian ia kembali lagi menghampiri..
.. dan menciumnya. Cahaya hijau itu terus menyertai mereka walau ciuman itu telah usai dan Wol Ryung tiba-tiba meminta, “Maukah kau menikah denganku?”
Seo Hwa tergeragap mendengar pertanyaan yang mendadak itu, “Tapi aku adalah putri penjahat negara.”
“Maukah kau menikah denganku?”
“Dan aku juga adalah budak negara yang sedang buron.”
“Maukah kau menikah denganku?”
Seo Hwa melihat kesungguhan di mata Wol Ryung, dan ia pun memeluk Wol Ryung dengan tersenyum bahagia.
Biksu So Jung kaget mendengar cerita Wol Ryung yang mengatakan kalau ia akan menikahi Seo Hwa dan ingin mengetahui cara untuk mendapatkan buku keluarga Gu.
Maka mereka ke perpustakaan biara dan Biksu So Jung mulai mencari-cari buku yang menjelaskan tentang buku keluarga Gu. Rupanya ia lupa dimana ia menyimpan buku itu. Wol Ryung kesal mendengarnya, “Harusnya kau menjaga buku itu baik-baik karena buku itu tentang aku!”
“Siapa juga yang berpikir kalau kau mau jadi manusia?” kilah Biksu So Jung. Ia masih belum habis pikir, kenapa Wol Ryung mau melakukan hal seperti ini.
Wol Ryung menjawab kalau temannya itu tak pernah hidup seribu tahun, sendiri dan kesepian, “Percayalah padaku. Menjadi fana itu lebih mengagumkan daripada hidup abadi. Dan karena itulah manusia menjadi lebih indah.”
“Tapi tetap saja kalau kau punya tubuh yang tak bisa aus dimakan usia sepertimu.. Jika aku memiliki wajah tampanmu, kurasa aku dapat hidup seribu tahun atau sepuluh ribu tahun sendirian,” bantah Biksu So Jung. Wol Ryung tertawa dan berkata kalau temannya itu belum pernah merasakan betapa membosankannya hidup seribu tahun itu.
Ada satu yang masih menjadi pertanyaan Biksu So Jung. Apakah Seo Hwa sudah tahu tentang jati diri Wol Ryung yang sebenarnya? Sambil mencari-cari buku itu, Wol Ryung menjawab belum dan ia berencana untuk menyimpan rahasia selamanya, “Karena aku akan menjadi manusia sebelum ia mengetahui siapa diriku sebenarnya.”
Hmm..
Biksu So Jung mendesah kesal melihat keras kepalanya Wol Ryung. Ia tak bisa menyetujui pernikahan ini. Baginya tak ada yang lebih rumit daripada mencintai seorang wanita, “Kau pikir kenapa aku meninggalkan kehidupan duniawi? Bahkan pria yang manusia saja tak bisa mengendalikan seorang wanita! Dan ini akan lebih parah lagi untuk makhluk sepertimu.”
Wol Ryung hanya tersenyum mendengar curhat temannya itu. Tapi perhatiannya beralih pada buku yang ia buka karena, “Ah, ketemu!”
Biksu So Jung segera meraih buku yang dipegang Wol Ryung dan mulai membacanya. Ternyata tak ada seorang pun yang pernah melihat Buku Keluarga Gu itu yang berarti tak pernah ada makhluk seperti Wol Ryung yang pernah menjadi manusia. Dengan kata lain menjadi manusia itu sangatlah sulit.
“Tentu saja sangat sulit,” kata si biksu. “Maka dari itu menyerah sajalah.”
Wol Ryung mendelik pada temannya dan menyuruhnya untuk terus membaca.
Menurut buku itu, untuk mendapatkan Buku Keluarga Gu, Wol Ryung harus berdoa selama 100 hari. Dan selama 100 hari itu, Wol Ryung harus menjalani 3 pantangan yaitu : Pertama, tak boleh membunuh makhluk apapun. Kedua, jika seorang manusia membutuhkan bantuan, Wol Ryung harus mau membantu dan tak boleh menolak. Ketiga, Wol Ryung tak boleh menunjukkan jati dirinya yang asli kepada manusia.
“Susah, kan?” tanya Biksu So Jung. Wol Ryung pun mengakui hal itu dan Biksu So Jung meminta Wol Ryung untuk melupakan keinginannya itu. Jika Wol Ryung bisa melakukan dalam 100 hari itu, buku itu akan muncul dan sumpah Hwan Woong akan muncul di hadapannya.
Tapi jika Wol Ryung gagal melakukan satu saja pantangan itu, Wol Ryung tak hanya kehilangan kesempatan untuk menjadi manusia, tapi Wol Ryung akan menjadi iblis selama 1000 tahun, “Kesempatan untuk menjadi manusia sangatlah tipis. Apakah kau masih ingin tetap mencoba?”
“Dan sejarah baru akan tertorehkan,” kata Wol Ryung ceria. “Makhluk kedua yang akan menjadi manusia setelah Woong Nyeo adalah Gu Wol Ryung!”
Sebagai teman, biksu So Jung meminta Wol Ryung untuk memikirkannya lagi karena pada akhirnya Wol Ryunglah yang akan sangat tersakiti. Wol Ryung berkata kalau ini adalah pertama kalinya dalam 100 tahun ia bertemu dengan seorang wanita yang membuat hatinya berdebar-debar, “Jika aku melepaskannya sekarang, mungkin aku harus menunggu 1000 tahun lagi.”
Dan menikahlah Wol Ryung dengan Seo Hwa.
Sementara itu, Jo Gwan Woong mendatangi temuan pasukan pencari. Sebuah nisan yang kira-kira dibuat dalam waktu yang bersamaan dengan hilangnya mayat Yoon. Jo Gwan Woong mencabut nisan kayu itu dan menyimpulkan kalau Seo Hwa masih hidup.
Nisan kayu itu dibawa Jo Gwan Woong pulang dan ia bertanya-tanya bagaimana seorang wanita bisa membawa mayat itu sendirian ke hutan. Dan sebuah jawaban melintas di pikirannya.
O oh..
Tiga bulan berlalu dan sepasang suami istri baru itu menjalan perkawinannya dengan bahagia. Seo Hwa selalu membawakan kotak makan untuk makan siang suaminya. Wol Ryung sendiri selalu lupa untuk membawa kotak makan itu.
Melihat Seo Hwa membawa keranjang, Wol Ryung bertanya apa yang akan Seo Hwa lakukan hari ini? Ternyata Seo Hwa berencana untuk mengambil beberapa tanaman dan bersikeras untuk melakukannya sendiri. Dan ia menenangkan suaminya kalau ia sudah benar-benar mengenal daerah ini, “Aku bahkan dapat menemukan jalan pulang dengan mata tertutup!”
Tapi Wol Ryung masih tetap khawatir. Ia mencoba mengambil keranjang itu, tapi Seo Hwa malah menyembunyikan keranjang itu di belakang dan mencium pipi Wol Ryung.
Tiga bulan pernikahan mereka, tapi Wol Ryung masih terkesima saat Seo Hwa mencium dirinya. Seo Hwa pun tahu hal itu, “Semoga kau menikmati makan siangmu, suamiku. Aku akan kembali sebelum saatnya makan siang.” Dan Seo Hwa kembali mencium pipi Wol Ryung yang masih mematung karena kecupan pertama tadi.
LOL. Dan Seo Hwa pun buru-buru pergi sebelum Wol Ryung pulih dari kesadaran.
Setelah pulih dari kagetnya, Wol Ryung tersenyum lebar dan meraba bekas kecupan di pipi itu.
“Kau benar-benar sudah termehek-mehek, ya,” seru Biksu So Jung dari kejauhan. Ia sempat melihat kejadian itu. Ia juga melihat wajah Wol Ryung yang tak tampak segar karena pantangan 100 hari itu.
Dengan ceria Wol Ryung berkata kalau ia sudah tak makan daging selama 3 bulan dan tinggal 11 hari lagi, “Kecuali saat aku kadang memimpikan kelinci panggang, yang lainnya tak begitu buruk.”
Biksu So Jung berkata kalau pantangan daging itu tak sebanding dengan memiliki istri cantik seperti Seo Hwa, “Ia bahkan membuatkan makan siang untukmu!” Biksu So Jung membuka kotak makan Wol Ryung dan memakannya sedikit. Namun sedetik kemudian makanan itu ia keluarkan lagi dari mulutnya.
Wol Ryung yang tadi mencoba mencegahnya, hanya tersenyum minta maaf, “Ahh.. kemampuan memasaknya masih harus diperbaiki lagi.”
“Kau makan makanan seperti ini selama 3 bulan?” tanya Biksu So Jung muak. Wol Ryung yang tetap tersenyum penuh cinta berkata kalau Biksu So Jung akan terbiasa dengan rasanya jika tetap memakannya. Biksu So Jung hanya bisa geleng-geleng kepala, “Wahh, kekuatan cinta itu benar-benar mengagumkan!”
Kedatangan Biksu So Jung itu adalah untuk memberitahu cara untuk menolak hukuman jika Wol Ryung gagal. Ia menyerahkan sebatang tongkat kayu kecil, “Ini adalah kayu yang berusia 100 tahun. Kau tinggal menjalani 11 hari lagi. Namun untuk berjaga-jaga, bawalah selalu tongkat ini sampai hari terakhir.”
Seo Hwa yang sibuk mengambil tananaman, tak menyadari kalau ada dua orang tentara yang melihat keberadaannya. O oh..
Dam Pyung Joon menemui Jo Gwan Woong dan menyatakan keinginannya untuk membubarkan pasukan pencarian. Rupanya Jo Gwan Woong mengira kalau gumiholah yang membawa mayat Yoon pergi dan bermaksud mencari gumiho itu agar bisa menemukan Seo Hwa.
Tapi Dam Pyung Joon yang sudah mengerahkan pasukan selama 3 bulan dan tak menemukan jejak gumiho atau mendengar berita tentang orang yang terluka karenanya, “Jadi lebih baik hentikan saja pencarian yang tak ada gunanya ini.”
Jo Gwan Woong marah mendengarnya. Ialah yang memutuskan apakah pencarian ini ada gunanya atau tidak. Tapi Dam Pyung Joon mengatakan kalau ia adalah pegawai kerajaan yang tak bertugas untuk melakukan kepentingan pribadi. Jadi ia meminta Jo Gwan Woong untuk mencari orang lain saja.
Belum sempat Dam Pyung Joon pergi, salah satu anak buah datang melaporkan kalau ada yang melihat keberadaan wanita yang mirip Seo Hwa di gunung. Dan Jo Gwan Woong memintanya untuk mencari wanita itu, “Jika ia bisa hidup selama 3 bulan di gunung, pasti ada seseorang yang menyembunyikannya. Entah itu penjahat ataupun gumiho, kau harus menangkapnya dulu.”
Wol Ryung kembali ke gua dan tak sengaja menjatuhkan tongkat yang diberikan So Jung padanya. Ia memandangi tongkat itu dengan skeptis, tapi ia tetap memasukkan tongkat itu ke dalam bajunya. Dan ia memanggil-manggil istrinya. Tapi tak ada sahutan.
Ternyata Seo Hwa masih asyik mengambil tanaman. Dan ia akhirnya merasakan ada orang yang mengikutinya. Ia pun melarikan diri.
Tentara yang mengikuti Seo Hwa pun segera mengambil panah dan memanahkan anak panah ke atas. Dan sekejap panah itu menyemburkan asap.
Dam Pyung Joon melihat asap itu.
Begitu pula Wol Ryung, “Seo Hwa..”
Ia berlari secepat-cepatnya dan akhirnya melompat terbang untuk segera tiba ke tempat Seo Hwa.
Seo Hwa pun berlari secepat-cepatnya. Di sebuah semak-semak, ia berhenti dan bersembunyi, sehingga tentara yang mengejarnya kehilangan jejak. Dan tentara itu pergi meninggalkannya. Seo Hwa pun berbalik untuk pergi ke arah yang berlawanan.
Tapi ternyata pasukan Dam Pyung Joon berada di sisi itu dan melihatnnya. Ia segera melarikan diri lagi, walaupun kali ini tak hanya satu orang yang mengejarnya tapi satu pasukan.
Para pengejar itu semakin mendekat, dan Seo Hwa kembali memohon dalam hati. Kali ini pada suaminya, “Tolong aku! Tolonglah aku, Wol Ryung!”
Dan sama seperti yang dulu, ia ditarik oleh seseorang. Suaminya. Seo Hwa berseru lega melihat suaminya.
“Ssst..!” Wol Ryung memintanya untuk diam. Ia merasakan para tentara itu semakin mendekat dan tak ada waktu bagi mereka untuk melarikan diri. Maka ia pun memeluk Seo Hwa erat.
Dan sekejap itu pula tanaman merambat imajiner menyelimuti mereka sehingga pasukan yang melewati mereka tak melihat keberadaan dua orang itu.
Seiring dengan tanaman merambat itu menghilang, Wol Ryung melepaskan pelukannya dan berkata menenangkan, “Sekarang semua sudah baik-baik saja. Mari kita pulang”
Tanpa suara, mereka pun beranjak meninggalkan tempat itu.
Untuk terpaku dan terkesiap kaget.
Dam Pyung Joon ada di hadapan mereka, duduk di atas kuda dengan tenang dan berkata,”Kau memiliki kekuatan yang sangat menarik. Mendadak kau dapat menutupi dirimu dengan tanaman-tanaman itu.”
|
“Siapa dirimu sebenarnya? Apakah kau manusia atau makhluk lainnya?” |