Yoon-hee dan In-ha saling berpegangan tangan dan memandang satu sama lain.
Joon dan Ha-na menautkan jari mereka dan tersenyum. Joon kemudian memeluk Ha-na. “Terima kasih,” katanya. Ha-na balas memeluk Joon. “Aku tidak tahu bagaimana aku harus memperlakukan Seo Joon. Aku rasa aku tidak bisa menjadi temanmu. Aku rasa aku juga tidak bisa berjalan-jalan denganmu ke luar.”
“Cukup tetaplah bersamaku,” kata Joon. Ha-na tersenyum.
Joon melepaskan pelukan dan menyuruh Ha-na mengulangi pernyataan sukanya.
“Tidak mau... Aku hanya akan mengatakannya sekali seumur hidup,” tolak Ha-na.
“Wow... Hanya akan mengatakannya sekali seumur hidup. Kau sudah mengatakannya padaku kan?”
“Ah.. Itu.. Bukan begitu..”
“Bagaimana ini? Kau sangat tergila-gila padaku..” kata Joon dengan percaya diri. (Joon, lagi-lagi kau merusak suasana romantis...) “Dasar orang aneh,” kata Ha-na.
Joon terus menggoda Ha-na agar mengulangi pernyataan sukanya, tapi Ha-na bersikeras tidak mau. Mereka masih bercanda saat ponsel Joon berbunyi. Joon mengangkat telepon. “Apa?” katanya dengan kaget.
Joon berlari-lari keluar. Ha-na menyusul di belakangnya dengan bingung. Joon sudah menghilang, jadi Ha-na berhenti lari.
Jo Soo, In-sung, dan penata gaya langsung berdiri di belakang Ha-na.
Ha-na menoleh dan memandang mereka dengan bingung. “Apa?” tanyanya.
Jo Soo menarik Ha-na dan mendudukkannya di kursi cafe. “Ini tidak berakhir secepat ini kan?”
“Tidak. Sudah berakhir. Kau tidak tahu betapa hebat Seo Joon,” sahut si penata gaya.
“Aku selalu yakin bahwa Seo Joon dan Ha-na tidak bisa bersama,” kata In-sung.
“Apa?” Ha-na semakin kebingungan.
“Jangan pernah menyatakan perasaan ke Seo Joon, ok?” kata Jo Soo.
“Jangan pernah,” sambung In-sung dan piñata gaya.
“Haha.. Menyatakan apa?” Ha-na salah tingkah.
Jo Soo memberitahu Ha-na bahwa bila Ha-na menyatakan perasaan pada Joon, dalam waktu dua minggu hubungan mereka akan berakhir. “Out,” kata In-sung dan piñata gaya bersamaan.
“Seo Joon hebat dalam hal lain, tapi dia benar-benar playboy saat berhadapan dengan para gadis. Kalau tidak nama panggilannya tidak akan ‘satu setengah bulan’. Dengan seorang wanita, hubungan mereka pasti tidak akan melebihi satu setengah bulan.”
Ha-na terbengong-bengong mendengar penjelasan Jo Soo. “Nama panggilannya banyak sekali.”
“Bagaimana pun, kau harus berhati-hati. Jangan jatuh cinta pada Joon,” kata Jo Soo lagi.
“Jangan...” sambung In-sung dan piñata gaya. Ha-na hanya tersenyum.
“Ah, itu Sun-ho.” Ha-na lalu melarikan diri dengan mendatangi Sun-ho yang lewat depan cafe.
“Ada apa?” tanya Sun-ho.
“Tidak apa-apa. Hanya saja mereka mengatakan hal yang aneh..” Sun-ho mengintip ke dalam.
“Hubungan mereka akan berakhir dalam waktu satu bulan,” kata piñata gaya.
“Tidak, dua bulan,” sahut Jo Soo.
“Aku yakin hubungan mereka akan berakhir dalam waktu dua minggu. Aku bertaruh 50000 won,” kata In-sung dengan yakin. Sun-ho langsung paham bahwa mereka sedang membicarakan Joon. Dia lalu bertanya pada Ha-na apa dia menyukai Seo Joon. Ha-na tergagap. Dia mengelak.
Sun-ho lalu bertanya dengan wajah serius, “Apakah kau tahu tentang masa lalu ibumu?”
“Teman-temannya?” Ha-na akan menjawab namun ponselnya berbunyi. Yoon-hee yang meneleponnya.
Sun-ho tidak membahas lagi. Dia kemudian pamit pergi dan mengambil payung.
Sun-ho terus berpikir. “Kedua orang itu sepertinya tidak tahu apa-apa. Cinta pertama ayah Seo Joon adalah ibu Ha-na. Jadi bagaimana dengan Ha-na dan Seo Joon? (itu juga yang jadi pertanyaanku..) Ah, sakit hati..”
Joon berlari-lari mencari kamar In-ha. Dia masuk ke kamar In-ha, dan bertemu dengan Hye-jung yang mencari In-ha juga. Ranjang In-ha kosong. “Apa yang terjadi?” tanya Joon dengan tegang.
“Kelihatannya ayahmu mendapat masalah lagi. Terlalu cepat menyeberang,” jawab Hye-jung.
Joon kemudian bertanya tentang luka In-ha. Hye-jung berkata agar Joon tidak usah khawatir karena luka In-ha tidak parah. “Kelihatannya ada seseorang yang menjenguknya sebelumnya,” kata Hye-jung. Pandangan Joon jatuh ke tas Yoon-hee.
“Bukankah aku sudah memberitahumu? Cinta pertama ayahmu.” Joon kaget.
“Kedua orang itu kelihatannya mulai menjalin hubungan lagi.” Hye-jung kemudian menyuruh Joon menunggu sebentar karena dia mau melihat keadaan In-ha.
Tapi Joon tidak menggubris Hye-jung dan keluar kamar.
Dia akan pulang, namun melihat ayahnya dan Yoon-hee sedang menunggu masuk ruang dokter.
In-ha dipanggil masuk. Yoon-hee menunggu di luar. Joon memandang Yoon-hee.
Hye-jung sedang mencari Joon, dia melihat Yoon-hee dan mendatanginya.
Yoon-hee kaget saat Hye-jung berdiri di depannya.
Hye-jung langsung mencecar Yoon-hee dengan tuduhan Yoon-hee selalu berpura-pura lembut. “Kau pikir peringatanku hanya main-main?”
“Aku minta maaf. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Karena itu..”
Hye-jung marah lalu menampar Yoon-hee di depan orang-orang.
“Maaf, Hye-jung,” kata Yoon-hee lagi. Hye-jung akan menampar Yoon-hee lagi namun ditahan Joon. Joon lalu mendorong Hye-jung keluar.
Yoon-hee melihat ke arah Joon dan Hye-jung pergi.
Joon mengantarkan Hye-jung sampai ke mobil. Dia akan menutup pintu mobil Hye-jung, namun Hye-jung memegangi tangan Joon sambil memandangi Joon dengan memelas. Joon menghembuskan nafas.
Joon menoleh ke Hye-jung yang sedang menangis, namun dia tidak mengatakan apa-apa.
Ponselnya berbunyi, ada sms dari Ha-na yang berisi tentang Ha-na yang berkata dia dalam perjalanan kembali ke resort karena ibunya meminta Ha-na pulang. Ha-na juga bertanya apa masalah Joon sudah selesai dan apa segalanya baik-baik saja. Joon menoleh ke Hye-jung lagi.
Ha-na dalam perjalanan pulang sambil bertanya-tanya mengapa Joon belum menghubunginya. Dia mulai khawatir dia dicampakkan karena menyatakan perasaannya. “Dia tipe orang yang bisa melakukan hal itu,” kata Ha-na pada diri sendiri.
Joon dan Hye-jung sudah sampai rumah. Joon akan pergi, tapi Hye-jung menahannya dan meminta Joon tidur di rumah malam itu karena Hye-jung tidak mau sendirian. Joon tidak tega dan setuju.
Hye-jung lalu menyuruh pembantunya mengambilkan obat tidur, namun Joon melarang.
Dia memegang tangan Hye-jung. “Jangan minum obat tidur, Bu.” (pertama kalinya melihat kontak fisik antara Joon dan Hye-jung). Hye-jung menuruti permintaan Joon.
Ha-na mengetik sms marah pada Joon, namun menghapusnya. Dia menggantinya dengan pertanyaan apa Joon benar-benar mencampakkannya.
Dia menghapus lagi dan mengetik sms marah lagi, namun tidak jadi.
Dia mulai berpikir apa ada sesuatu yang terjadi pada Joon.
Joon masuk ke kamar. Dia duduk di ranjang kemudian menyalakan lampu kamar.
Dia mengingat-ingat kejadian di rumah sakit dan merasa stress.
Tae-seong berlatih tinju dengan samsak sampai kelelahan.
Dia ingat kata-kata Ha-na bahwa Ha-na tidak akan merasa tidak nyaman lagi karena Tae-seong dan juga dia benar-benar ingin tinggal di cafe. Dia semakin keras memukul samsak.
Tae-seong menyelesaikan latihan. “Aku tahu suatu saat hal ini akan terjadi,” katanya pada diri sendiri. Dia kemudian mengambil mantel dan pulang.
Ha-na keluar rumah dan mencari Joon.
Joon muncul dari belakang Ha-na dan menutup matanya dari belakang. “Siapa ini?” tanya Ha-na.
“Tebaklah siapa,” jawab Joon. Ha-na melepaskan tangan Joon dan mengomel karena Joon membuatnya khawatir dengan tidak mengangkat teleponnya sama sekali.
Dia kemudian memeluk Ha-na. “Aku tahu kau khawatir. Karena itu aku datang kemari.”
“Apa ada hal buruk yang terjadi?” tanya Ha-na.
Joon tidak menjawab dan meletakkan kepalanya di pundak Ha-na.
“Hanya karena aku memberikanmu cincin itu, bukan berarti kau bisa menyentuhku seperti ini.”
Joon tertawa lalu menarik tangan Ha-na, mengajaknya berjalan-jalan.
Ha-na menolak karena dia belum mengunci pintu rumah.
“Jadi tidak ada siapa pun di rumah?” Joon langsung membalikkan badan dan akan ke rumah Ha-na.
“Jangan!” larang Ha-na sambil mendorong badan Joon.
“Kenapa? Bukankah lebih baik bila rumahmu kosong?” Joon masih ingin masuk.
“Justru kau semakin tidak boleh masuk rumahku!”. Mereka saling dorong. Joon terjatuh dan menimpa slang air. Slang air memancar dan mereka kebasahan. Joon jatuh bangun menghindari air.
“Apa kau sengaja? Kau tidak ingin aku pulang rumah?” tanya Joon dengan marah.
Joon keluar kamar mandi dengan baju pinjaman kekecilan. (hahahahaha..)
Ha-na menahan tawa saat melihat Joon.
Joon mengomel karena Ha-na sama sekali tidak bersimpati. Joon kemudian duduk di kursi.
“Bersabarlah sebentar lagi,” kata Ha-na.
“Siapa bilang aku cuma sebentar di sini? Aku tidak berencana pulang malam ini,” kata Joon.
Ha-na tergagap. “Baru berapa lama kita berpacaran?”
“Apa yang kau bicarakan? Aku menginap di sini karena aku khawatir kau akan ketakutan karena sendirian.”
“Oh.. begitu..” Ha-na merasa malu. Joon melirik reaksi Ha-na.
Ha-na lalu duduk di kursi sofa. Dia dan Joon saling melirik dan sama-sama bingung akan bicara apa.
Tiba-tiba Joon berdiri dan berjalan mencari kamar Ha-na. Dia membuka pintu kamar Yoon-hee.
Ha-na menarik Joon dan menutup pintu kamar Yoon-hee. Joon tidak sempat melihat foto Yoon-hee yang dipajang di meja samping tempat tidur. Joon berjalan lagi dan sampai di depan kamar Ha-na.
Ha-na berdiri menghalangi pintu. “Kenapa kau masuk kamar orang tanpa permisi?”
“Apa itu? Di situ. Itu,” kata Joon mengalihkan perhatian.
Perhatian Ha-na teralihkan, Joon langsung masuk kamar Ha-na.
Ha-na mengejar masuk ke kamarnya.
“Kau sangat mudah dibohongi,” kata Joon dengan bangga.
Joon melihat foto masa kecil Ha-na dan mengejek Ha-na jelek saat kecil.
“Untuk apa kau lihat-lihat fotoku?” Ha-na menjauhkan Joon dari fotonya.
Joon mengambil kamera di meja rias Ha-na dan memanggil Ha-na kemudian memotretnya sambil tertawa. Joon duduk di ranjang Ha-na dan memanggil Ha-na. Ha-na duduk di samping Joon. Sambil memegang pundak Ha-na, Joon berfoto dengan Ha-na.
Joon melihat hasil jepretannya. “Wah, bila kualitas kameranya bagus, memotret tanpa usaha keras hasilnya juga akan bagus.”
Ha-na merebut kamera di tangan Joon. “Senang?” tanyanya dengan sinis.
“Kau belajar dan tidur di sini, cukup mengejutkan,” kata Joon sambil melihat ke sekeliling.
“Aku tidak terlalu banyak belajar,” kata Ha-na dengan malu.
Ha-na menoleh ke Joon, kemudian bertanya apa yang terjadi hari ini sehingga Joon berlari-lari.
“Masalah keluarga,” jawab Joon singkat. Ha-na masih menunggu. “Aku sedikit depresi. Keluargaku kacau.” Ha-na memandang Joon dengan simpati.
Joon mengambil kesempatan dan mulai merlancarkan rayuannya.
“Karena itulah aku tidak percaya cinta. Ayahku memberikan segalanya untuk cinta pertamanya. Tapi, ketika aku bertemu denganmu, ini pertama kalinya aku merasakan perasaan seperti ini.”
Joon mendekatkan wajahnya, Ha-na diam tidak bergerak. Joon semakin mendekat.... dan tertawa. “Apa jantungmu berdegup sangat keras sekarang?”
Ha-na mengelak. “Kapan aku berdebar?” Dia lalu mengalihkan wajah.
“Bagaimana ini? Aku kira kau tergila-gila padaku!”
“Kau selalu menggodaku,” omel Ha-na. Joon akan berdiri, namun ditarik Ha-na.
Ha-na meletakkan tangannya di pundak Joon dan memandang Joon dalam-dalam. “Aku sudah menunggu-nunggu hari ini. Aku rasa kau tidak usah pulang malam ini.”
Ha-na lalu memejamkan mata. Joon akan maju, namun Ha-na membuka matanya dan berdiri.
Ganti Joon yang menarik Ha-na. “Kau sudah sampai tahap ini, kau ingin mundur begitu saja?”
“Bukan begitu. Kau menggodaku dan aku ingin membalasmu...”
“Sstt.. Kau terlalu banyak bicara.” Joon memajukan badannya, Ha-na semakin mundur.
“Ha-na..,” panggil Yoon-hee. Ha-na dan Joon kaget dan terjatuh ke ranjang. (hahahahahaha...)
“Siapa itu? Siapa itu?” tanya Joon dengan kaget.
Ha-na langsung menutup mulut Joon. “Ya, Bu!” jawab Ha-na.
“Hei, bukankah kau bilang ibumu tidak pulang hari ini?” tanya Joon sambil berbisik-bisik.
“Ha-na, apakah kau di kamar?” tanya Yoon-hee lagi.
Ha-na menjawab sambil berpura-pura menguap. “Ya. Jangan masuk, Bu. Aku akan keluar.”
Yoon-hee merasa aneh. “Baiklah. Aku akan ganti baju dan keluar,” kata Yoon-hee lalu pergi ke kamarnya.
Joon dan Ha-na sama-sama merasa lega.
Joon berdiri dan berkata, “Keluar.”
“Apa?” tanya Ha-na kaget.
“Karena terjadi hal seperti ini, aku harus menyapanya lebih dulu."
“Dengan penampilan seperti ini?”
“Ah, iya..” Joon baru sadar penampilannya tidak karuan.
“Baju!” Ha-na baru ingat baju Joon yang tadi sedang dikeringkannya.
Joon kaget juga dan menyuruh Ha-na cepat-cepat mengambil bajunya.
Ha-na mengintip keluar, memastikan keadaan.
“Bu, kenapa kau kembali lebih awal? Bukankah kau bilang kau akan menginap di rumah sakit?” tanya Ha-na. Dia kemudian menyerahkan baju Joon dengan cepat-cepat.
Ha-na kemudian berlari-lari mengambil sepatu Joon. “Kalau soal pemindahan pohon, aku akan mengurusnya,” kata Ha-na untuk mengalihkan perhatian Yoon-hee.
Yoon-hee muncul. Ha-na menyembunyikan sepatu di belakangnya dan berjalan mundur, lalu melempar sepatu Joon ke dalam.
“Aku juga berharap kau pulang lebih awal,” kata Ha-na, berusaha menjaga agar tidak ketahuan Yoon-hee. Ha-na mendatangi Yoon-hee, mencegah Yoon-hee masuk ke ruang makan.
“Apakah professor baik-baik saja?”
Yoon-hee mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bu, kau ketakutan kan? Kau kelihatannya lelah. Tidurlah lebih awal.”
Yoon-hee mengangguk dan masuk kamar.
Joon mulai gelisah di kamar Ha-na.
Joon mendengar pintu kamar Yoon-hee ditutup. Dia mengintip keluar.
Ha-na langsung menyuruh Joon cepat-cepat keluar. Joon keluar kamar dan menuju pintu depan, namun tidak menemukan sepatunya.
“Sepatu! Sepatu!” katanya tanpa suara.
“Nanti! Keluarlah dulu!” perintah Ha-na tanpa suara juga.
“Lalu bagaimana sepatuku?”
“Nanti. Nanti,” kata Ha-na sambil menunjuk-nunjuk jendela.
“Ha-na, apakah kau sudah membuat makan malam?” tanya Yoon-hee dari dalam kamar.
“Ah, ya. Sudah,” jawab Ha-na sambil mengambil sepatu Joon. Ha-na lalu ke jendela dan membukanya. Dia melempar sepatu Joon dan menyuruh Joon cepat-cepat pergi.
Joon memandang Ha-na dan mencium Ha-na dengan cepat. “Jangan telat kembali,” pesan Joon sambil tersenyum kemudian dia pergi. (hahahahaha... Kayak anak SMP takut ketauan pacaran sama ortu..) Ha-na masih kaget dan berbunga-bunga.
Yoon-hee keluar kamar dan bertanya mengapa Ha-na membuka jendela.
“Banyak bintang di langit,” kata Ha-na sambil tersenyum dan memandang ke langit.
“Oh ya? Aku kira hari ini akan mendung. Ayo kita lihat bersama,” ajak Yoon-hee.
Ha-na langsung menutup jendela dan mengajak Yoon-hee minum teh. Yoon-hee merasa kelakuan Ha-na aneh, namun tidak berkata apa-apa.
Joon sudah memakai bajunya lagi dan akan pulang. Dia melihat Tae-seong.
“Kenapa aku selalu melihatmu berada di sekitar Ha-na? Setahuku, kau bukan seseorang seperti yang Ha-na kira. Kau hanya sunbae yang baik hati. Kau punya rahasia dan tunangan,” kata Joon pada Tae-seong.
“Aku juga paham sedikit tentangmu, Tuan Seo Joon,” kata Tae-seong.
“Apakah kau menyelidikiku dengan diam-diam?”
“Karena informasi yang kudapatkan, aku rasa kau bukan seseorang yang bisa kupercaya.”
Joon memandang Tae-seong dengan tajam.
“Aku tidak bisa langsung membiarkan Ha-na kau ambil. Lebih penting lagi, aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku sekarang menyadari, betapa penting Ha-na bagiku.” Joon kaget.
“Aku akan membatalkan pertunanganku. Juga, di masa depan, keadaannya tidak akan seperti sekarang.”
“Karena pertunanganmu, kau selalu mengabaikan Ha-na. Ha-na gadis yang baik. Dia sangat jujur dan tulus. Sekarang, aku adalah orang yang paling mengerti Ha-na. Karena itu, tentu saja aku tidak akan melepaskannya.” Tae-seong dan Joon saling berpandang-pandangan dengan tajam.
Ha-na dan Yoon-hee sedang minum. Ha-na terlihat gelisah.
“Ha-na, sebenarnya...”
“Bu, aku minta maaf...”. Ha-na dan Yoon-hee berbicara bersamaan.
“Ada apa?” tanya Ha-na.
“Apa yang mau kau katakan?” tanya Yoon-hee.
“Ibu dulu saja,” kata Ha-na. Yoon-hee memberitahu Ha-na bahwa dia memutuskan memulai lagi dari awal dengan In-ha. Ha-na sangat senang dan sangat mendukung ibunya. Dia meyakinkan ibunya bahwa dia sama sekali tidak keberatan bila ibunya ingin menjalin hubungan dengan In-ha. Dia justru berterima kasih pada In-ha karena Yoon-hee bisa bahagia mulai sekarang.
“Terima kasih,” kata Yoon-hee. Yoon-hee lalu bertanya apa yang mau dikatakan Ha-na.
Ha-na lalu bercerita bahwa dia memiliki seseorang yang dia suka. “Tae-seong?” tanya Yoon-hee.
“Bukan Sunbae. Perasaan ini bukan sekedar cinta monyet. Dan aku tidak punya waktu untuk mempertimbangkan... Aku jatuh cinta padanya secara tiba-tiba.”
Ha-na keluar rumah dan mencari Joon. Saat menemukan Joon, dia tersenyum. Begitu juga Joon.
Ha-na mendatangi Joon. “Kenapa kau masih di sini? Aku kira kau sudah pergi dari tadi.”
“Aku ingin melihatmu lagi sebelum pulang. Ibumu?”
“Aku sudah memberitahu ibu. Dia bilang aku harus mempertemukanmu dengannya lain kali.”
Joon tersenyum, Ha-na balas tersenyum. Joon memegang tangan Ha-na.
“Aku rasa aku pasti sudah gila akhir-akhir ini. Selama aku bersama denganmu, aku merasa aku adalah seseorang yang berbeda. Tidak juga..” Joon tertawa. Ha-na juga tertawa. Mereka berpandangan dengan bahagia. “Aku suka padamu. Karena itu kau harus selalu berada di sisiku dan tidak boleh pergi.” Ha-na mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hati-hati di perjalanan,” pesan Ha-na.
“Biarkan aku memelukmu sebentar,” pinta Joon. Dia lalu memeluk Ha-na. Ha-na juga balas memeluknya. Joon terlihat bahagia. “Ini benar-benar menyenangkan,” katanya. (semoga janji mereka bisa ditepati dalam keadaan apapun...)
Joon pulang ke rumah dan melihat ada ambulans di depan rumah. Dia cepat-cepat masuk.
Hye-jung sedang berusaha ditenangkan oleh tenaga medis. Dia berteriak-teriak bahwa dia tidak mabuk dan minta dipanggilkan Joon. Joon masuk ke kamar.
“Nyonya terlalu banyak minum meskipun saya berusaha menasehatinya,” kata pembantu Hye-jung,
Joon mendatangi ibunya. “Bu!” panggil Joon.
“Joon, panggil ayahmu. Seo Joon, panggil ayahmu. Ayahmu akan mendengar apapun perkataanmu kan?” kata Hye-jung dengan histeris.
Joon menghembuskan nafas tidak berdaya.
Ha-na masuk ke mobil sambil membawa bunga-bunga yanga akan dia letakkan di cafe.
Yoon-hee memastikan apa Ha-na tinggal sendirian di cafe.
“Tentu saja!” jawab Ha-na meyakinkan Yoon-hee. Dia menenangkan Yoon-hee bahwa dia akan segera pindah. Ponsel Ha-na berbunyi, Yoon-hee menyuruhnya melihat siapa yang mengirim pesan.
Ternyata itu pesan dari Joon yang mengabarkan dia sudah sampai di cafe. Dan dia tidak bisa tidur tanpa Ha-na. “Sampai jumpa. Aku merindukanmu,” tulis Joon.
Ha-na tersenyum-senyum membaca pesan Joon.
“Dari siapa? Pria itu?” tanya Yoon-hee.
“Bukan. Tentu saja bukan. Kami belum sedekat itu,” jawab Ha-na dengan gugup lalu meletakkan ponsel di bawah kakinya. (jawabanmu malah bikin ketahuan, Ha-na..)
Pintu kamar In-ha diketuk. “Masuk,” jawab In-ha.
Ternyata Joon yang datang.
Joon dan In-ha berjalan di taman rumah sakit. Joon memberitahu In-ha bahwa dia kemarin datang, namun tidak sampai bertemu In-ha.
“Apa kau sudah bertemu dengannya (Yoon-hee)?” tanya In-ha.
Joon terdiam sesaat lalu berkata, “Aku minta maaf.”
“Untuk apa?” tanya In-ha.
“Aku minta maaf. Akulah yang menyiksamu selama ini.”
“Seo Joon.”
“Aku sudah tahu bahwa ibulah yang bersalah. Aku juga mengerti mengapa ayah ingin meninggalkannya. Bagaimanapun, hatiku tidak mendengarkanku. Aku selalu mengasihani ibu yang hanya melihat ayah di matanya. Bukan karena ayah, tapi karena ibu selalu stress. Maaf Ayah, tapi bisakah kau memberikan ibu satu kesempatan lagi? (aduh...)” In-ha memandang Joon.
“Aku tidak bisa melihat ibu jatuh seperti itu. Ambillah kesempatan ini, Yah. Lepaskanlah kenanganmu sekali lagi. Demi ibu, dan juga demi aku.” In-ha kembali memandang Joon.
Joon menuruni tangga sambil mengingat pertemuannya dengan In-ha.
=Flashback=
“Maaf, Joon, karena kau selalu hidup seperti ini. Kalau aku bisa menyerah, aku pasti sudah menyerah dari dulu. Bagaimanapun, aku tidak bisa. Semua adalah kesalahanku. Maaf.”
=Flashback End=
“Apakah ini yang kau bilang cinta?”
Joon berjalan keluar rumah sakit. Dia melihat Yoon-hee dan teringat bahwa Yoon-hee adalah wanita yang dia lihat bersama dengan ayahnya. Dia akan mendatangi Yoon-hee, namun tidak jadi saat Yoon-hee memanggil seseorang. “Ha-na!” Yoon-hee melambaikan tangannya.
“Bu!”. Joon melihat dengan pandangan kaget. Dia tidak menyangka Yoon-hee adalah ibu Ha-na. (akhirnya Joon tahu...)
Ha-na menoleh sepintas, Joon cepat-cepat bersembunyi.
Ha-na menyapa In-ha yang mendatangi mereka. Joon terus melihat pemandangan itu, termasuk saat Ha-na menyerahkan hadiah ke In-ha. Dia terus menatap saat Ha-na dan In-ha terlihat akrab.
Joon akhirnya tidak sanggup lagi dan berjalan pergi.
Ha-na merasa melihat Joon namun dia diajak bicara Yoon-hee lagi.
Wajah Joon sangat pucat. Dia tidak percaya bahwa Ha-na adalah anak cinta pertama ayahnya.
Joon menghentikan mobil di tepi jalan. Dia menangis. (hiks..hiks..hiks..)
Joon menumpahkan stressnya dengan berlatih menembak di tempat pemotretan.
Jo Soo melihat jam dan berkata lebih baik Joon memotret daripada berlatih menembak.
Joon selesai latihan dan menyuruh semua bersiap-siap pemotretan. “Stand by!”
Ha-na mengeluarkan belanjaannya.
Dia mengeluarkan ponselnya dan akan mengirim pesan ke Joon, tapi tidak jadi saat Sun-ho masuk.
Sun-ho melihat belanjaan Ha-na dan bertanya apa dia akan makan malam dengan Joon.
Ha-na dengan malu mengelak. Dia mengajak Sun-ho makan malam dengannya dan Joon juga. “Aku juga sudah beli bir juga.” Sun-ho memberitahu Ha-na bahwa Joon tidak bisa mabuk. Minum satu-dua gelas sudah cukup untuk Joon. “Oh, begitu...” Ha-na terlihat kecewa.
“Betul kan, kau mau makan dengan Joon?”
“Tidak..” Ha-na masih mengelak.
Sun-ho kemudian menawarkan membantu Ha-na memasak.
Sambil memasak, mereka berbicara dengan akrab.
Selesai memasak, Sun-ho pamit pulang. Dia menolak tawaran Ha-na makan malam dengannya dan Joon karena dia rasa Joon pasti ingin bersama Ha-na sendiri.
Setelah Sun-ho keluar, Ha-na mengambil ponsel dan memotret hasil masakannya.
Joon sudah selesai pemotretan.
Ponselnya berbunyi. “Aneh, ponselmu baru sekali berbunyi hari ini,” kata Jo Soo.
Joon membuka pesan dari Ha-na yang mengirim foto makan malam dan mengajak Joon makan malam dengannya. Joon terlihat gelisah. Dia tidak membalas pesan Ha-na.
“Kita kembali ke studio?” tanya Jo Soo.
“Kita pergi makan di kedai,” kata Joon.
Semua merasa senang. Jo Soo merasa aneh dengan tingkah laku Joon.
Ha-na berdandan cantik dan menunggu Joon.
In-ha keluar rumah sakit ditemani Yoon-hee.
Yoon-hee menawarkan mengantar In-ha sampai ke rumah.
“Aku benar-benar tidak ingin berpisah denganmu. Apa tidak ada tempat yang ingin kau tuju?” tanya In-ha.
“Ada banyak tempat yang ingin kutuju,” jawab Yoon-hee.
“Kalau begitu, ayo pergi bersama. Kita mulai dari tempat terdekat.” In-ha kemudian menggandeng Yoon-hee dan mengajaknya pergi.
Yoon-hee dan In-ha berjalan bersama sambil mengenakan payung berwarna kuning. (kayak jaman muda dulu.. ^^) Yoon-hee bercerita bahwa saat di Amerika dia sakit parah dan berpindah-pindah tempat untuk mencari dokter yang bagus.
“Tidak heran aku tidak bisa menemukanmu. Saat aku mendengar kau meninggal, aku tidak bisa mempercayai berita itu.”
“Kau pernah mencariku sebelumnya?” tanya Yoon-hee.
Ha-na menunggu Joon di meja makan. Dia melihat ke ponselnya, namun tidak ada balasan dari Joon.
Joon sudah mulai mabuk. Dia tidak menggubris Jo Soo yang mencoba menghentikannya.
Ha-na menunggu di rumah. Dia mulai bosan.
Dia mendengar suara klakson mobil di luar, namun itu bukan Joon. Dia menelepon Joon namun tidak diangkat.
Joon mulai mengantuk. Para staf berdiri dan akan pulang. Joon masih mengajak stafnya minum lagi, namun Jo Soo melarang dan menyuruh yang lain pulang.
Ha-na kesal. “Aku akan memakannya sendiri,” katanya dengan marah.
Joon dibopong Jo Soo keluar kedai. Dia menabrak seseorang. Keadaan menjadi tidak terkendali dan timbul kekacauan. Joon dipegangi, namun dia terus melawan dengan marah. Mulutnya berdarah karena terkena pukulan.
Yoon-hee bercerita bahwa dia kembali ke Korea saat dia sudah sembuh, namun dia mendengar kabar In-ha sudah menikah. “Sejak saat itu, aku berusaha melupakanmu. Mungkin aku merasa sakit hati saat itu. Bukan karenamu. Tapi karena aku tidak bisa lagi merindukanmu, itulah kenapa aku merasa sakit hati. Memori tentangmu, adalah pendukung moralku selama aku menjalani pengobatan di Amerika. Terima kasih karena telah membangkitkan memoriku lagi. Dan membuatnya menjadi realita. Dan juga karena telah memberiku keberanian. Terima kasih.”
In-ha memandangi Yoon-hee sambil tersenyum. Yoon-hee juga tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
Joon masuk ke rumah dan menyalakan lampu. Dia terkejut saat melihat makanan di meja. Joon merasa menyesal.
Dia lalu masuk kamar Ha-na dan melihat Ha-na yang tertidur sambil memegang ponselnya. Mata Joon berkaca-kaca.
Dia duduk di ranjang Ha-na dan mengusap pipi Ha-na. Joon lalu tidur di samping Ha-na. (hiks..hiks..)
Yoon-hee dan In-ha berjalan pulang sambil berbincang-bincang.
Ha-na dan Joon tertidur berhadapan di bawah satu selimut.
Hari sudah pagi. Ha-na bangun dan melihat Joon di sampingnya.
Dia kaget dan menyentuh luka di wajah Joon. Joon ikut terbangun.
“Kenapa kau tidur di ranjangku?”
“Bukan seperti itu,” jawab Joon sambil mengantuk.
“Kenyataannya kau tidur di ranjangku.”
“Kemarin malam, apa kau membuka jendela kamarku? Aku kedinginan, jadi aku ke sini.” (hahaha, Joon, Joon, masih aja ngeles). “Tidak,” jawab Ha-na tidak yakin.
Dia melihat luka di wajah Joon. “Kenapa kau?” tanyanya.
Ha-na mengobati luka Joon. Joon mengeluh kesakitan.
“Aku sudah bilang jangan terlalu bangga di depan orang-orang. Apa yang terjadi? Lukamu cukup parah,” kata Ha-na. Joon mengelak dan bilang bahwa dia berhadapan dengan 17 orang. Ha-na tahu Joon berbohong. “Kelihatan seperti syuting film dengan 17 personil.”
“Bagaimana kau tahu?” Mereka tertawa bersama.
Ha-na lalu mengobati luka di leher Joon. “Di masa depan, jangan sanmpai terluka. Aku tidak suka kau terluka.” Joon tidak menjawab. Dia lalu minta maaf karena sudah membuat Ha-na menunggu semalam. “Ya, kau sudah membuatku menunggu.”
“Bagaimana kalau kau putus saja dengan pria seperti ini?”
“Baiklah, aku akan memutuskannya,” jawab Ha-na dengan bercanda.
Joon memandang Ha-na dengan serius. Ha-na lalu bertanya apa ada yang terjadi tapi Joon tidak mengaku. “Betulkah?”
“Ya,” jawab Joon.
Ha-na sedang bekerja memotong kayu. Joon yang sedang mengutak-atik tabletnya di kursi samping Ha-na merasa terganggu dan mendatangi Ha-na. Dia melihat sketsa gambar Ha-na dan memanggil Ha-na karena ukuran yang dipotongnya salah.
Jo Soo dan In-sung memperhatikan Ha-na dan Joon.
“Huffh.. Kemarin mereka bertengkar dan hari ini mereka sudah baikan,” kata Jo Soo dengan lega.
“Benar, mereka berdua tidak kelihatan seperti berpacaran kan?” tanya In-sung.
Sun-ho muncul dari belakang mereka. “Itu disebut cinta,” kata Sun-ho. ”Pernahkah kalian melihat Joon memperlakukan wanita seperti itu?”. Jo Soo dan In-sung memperhatikan Ha-na dan Joon.
“Benar-benar membuat orang khawatir.” Sun-ho keceplosan bicara.
“Apa katamu?” tanya In-sung.
“Ah, tidak ada apa-apa,” jawab Sun-ho dengan tertawa.
Ha-na melanjutkan memotong kayu. Salah satu kayu hasil potongannya jatuh dan menimpa kakinya. Ha-na berteriak kesakitan. Joon langsung berdiri dan memapah Ha-na.
Dia menyuruh Ha-na duduk dan tidak banyak bergerak.
Ha-na menolak karena dia harus menyelesaikan pekerjaan hari ini.
“Aku sudah bilang jangan banyak bergerak,” perintah Joon lagi.
“Lalu bagaimana pekerjaanku?”
“Aku akan membantumu.” Ha-na memandangi Joon dengan tidak yakin. Joon lalu pergi ke tumpukan kayu dan melihat sketsa Ha-na.
“Pekerjaan itu tidak akan mudah sekalipun kau mengikuti sketsa.” Ha-na memperingatkan Joon.
Joon tidak menjawab apa-apa dan mengambil mesin gergaji. Dia mengukur dan memotong kayu dengan tepat. “Tidak buruk,” kata Ha-na melihat hasil kerja Joon.
“Aku adalah seseorang yang bisa melakukan banyak hal dengan sekali lihat,” kata Joon dengan bangga. Ha-na melihat Joon dengan sinis.
“Juga melakukannya dengan lebih baik daripada yang lain,” sambung Joon.
“Mulai lagi kau,” kata Ha-na. Dia lalu akan membantu Joon, namun Joon melarangnya lagi.
“Aku akan membantu,” Ha-na berkeras.
“Aku akan membantumu sekarang. Sampai saat ini, aku tidak pernah membantumu,” kata Joon.
Ha-na diam saja. Joon lalu melanjutkan pekerjaan Ha-na.
Jo Soo dan In-sung memandangi kerja Ha-na dan Joon dengan takjub.
Jo Soo mengakui bahwa Joon pintar dan dia melakukan pekerjaan dengan sempurna.
Sun-ho ikut melihat mereka dengan khawatir.
Ha-na melihat Joon yang bekerja dengan serius dan tersenyum kecil.
Yoon-hee sedang menyiram tanaman sambil mendengarkan lagu. Saat ada lirik ‘di sini hujan lagi’, dia tersenyum.
In-ha sedang melukis. Saat sudah selesai dia mengambil ponselnya dan melihat daftar kontak Joon di ponselnya. Dia mengingat saat Joon berkata dia tidak bisa melihat ibunya jatuh seperti itu. In-ha juga ingat saat Hye-jung mabuk di rumahnya dan mempertanyakan alasan In-ha berubah banyak.
Dia melepas celemeknya dan keluar rumah.
Sun-ho membantu Ha-na menanam bibit stroberi. Mereka sudah selesai dan berjalan keluar.
“Sudah selesai?” tanya Joon.
“Ya, lebih bagus daripada yang aku kira,” jawab Ha-na.
“Tentu saja, siapa dulu yang mengerjakannya?” kata Joon dengan bangga. Dia lalu berpura-pura lehernya sakit karena membantu Ha-na. Ha-na dan Sun-ho tertawa melihat kelakuan Joon.
Tiba-tiba, Mi-ho si devil datang dan duduk di samping Joon. Dia akan mendekati Joon namun Joon menolak. Ha-na merasa cemburu namun Sun-ho menenangkannya.
Mi-ho melirik Ha-na dan teringat foto Ha-na yang mirip cinta pertama ayahnya. Dia akan mengatakan masalah foto, namun Sun-ho langsung menutup mulut Mi-ho dan mengalihkan pembicaraan dengan bertanya apa isi tas yang dibawa Mi-ho.
Ha-na penasaran dan bertanya foto apa yang dimaksud Mi-ho. Joon juga ikut tertarik.
“Ah, bukan apa-apa,” jawab Sun-ho pada Joon dan Ha-na.
Mi-ho masih akan membahas, namun karena Sun-ho melarangnya, dia akhirmya berkata bahwa dia membawa makan untuk ibu Joon. “Aku membuatnya selama tiga jam.”
“Kau dibantu ibu kan?” Sun-ho membuka rahasia.
Mi-ho menyuruh Sun-ho tutup mulut. Joon tertawa sinis mendengarnya.
“Ibumu meneleponku. Dia bilang dia sangat menyukaiku dan ingin aku bisa bersamamu. Aku harus menjenguknya.” Joon melirik Mi-ho.
Sun-ho melihat ke Ha-na yang menahan rasa tidak nyamannya.
“Oppa, bila kau tidak pergi denganku, bibi akan kecewa. Apa kau akan membiarkan seorang pasien lebih kecewa lagi? Kau akan pergi kan?” Joon melihat Ha-na yang menundukkan kepalanya.
Sun-ho menyela dan berkata bahwa dia akan pergi bersama mereka karena dia juga sudah lama tidak melihat ibu Joon. Mi-ho memelototi Sun-ho dengan kesal.
Mereka masuk ke ruang praktek Sun-ho.
Mi-ho marah-marah karena Sun-ho merusak rencananya. “Juga, kenapa kau tidak mengijinkanku bicara masalah foto?”
Sun-ho duduk. “Kalau ada seseorang yang mirip dengan cinta pertama ayah, orang-orang akan tertarik. Kau tidak ingin Joon semakin tertarik pada Ha-na kan? (alasan yang bagus...)”
Mi-ho tertarik. “Betulkah?”
“Ya, pria dan wanita pada dasarnya sama. Cinta perama mereka seseorang yang spesial bagi mereka.” Mi-ho mulai goyah.
“Itulah kenapa aku tidak mengijinkanmu berbicara masalah foto.”
Mi-ho mempercayai alasan Sun-ho dan memuji Sun-ho yang masih saja orang paling pintar.
Sun-ho, Mi-ho, dan Joon akan berangkat menemui Hye-jung.
Sun-ho berpamitan pada Ha-na, diikuti Joon.
“Aku pergi,” kata Joon.
“Ya,” jawab Ha-na singkat lalu membalikkan badan.
Joon akan mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Mi-ho menggandeng lengan Joon.
Ha-na mengomel melihat kedekatan Mi-ho dan Joon. Dia merasa cemburu.
Ponsel Ha-na berbunyi. Ada telepon dari Yoon-hee.
Joon sudah sampai di mobilnya. Mi-ho duduk di samping Joon.
Joon merasa tidak enak lalu minta ijin kembali ke rumah sebentar.
Joon mendengar Ha-na yang berbicara dengan ibunya. Dia merasa ragu. Namun akhirnya memantapkan hati dan berjongkok di samping Ha-na.
Ha-na menutup teleponnya. “Ada apa?” tanyanya.
“Aku ingin memberitahumu bahwa aku akan kembali. Kau tidak perlu khawatir tentangku.”
Ha-na mengangguk-anggukkan kepalanya dan bertanya apa sakit ibu Joon.
Joon tidak menjawab. Ha-na merasa bersimpati dan menyuruh Joon cepat-cepat menemui ibunya.
“Sampai jumpa. Nanti kita makan bersama,” janji Joon.
Ha-na merasa senang.
Mi-ho menyusul Joon dan mengajaknya cepat-cepat. (dasar perusak suasana)
“Aku tahu,” jawab Joon dengan kesal. Joon lalu mengingatkan Ha-na agar pakai baju bagus nanti.
Ha-na tersenyum. Joon kemudian berangkat.
Joon, Sun-ho, dan Mi-ho sudah sampai di rumah Joon dan dibukakan pintu oleh pembantu Joon.
Di atas, Hye-jung marah-marah. “Apa?! Kau ingin tinggal dengan wanita sialan itu?!”
Joon langsung naik ke atas. Sun-ho, Mi-ho, dan pembantu Hye-jung melihat lantai atas dengan khawatir. “Paman sudah memiliki wanita lain,” bisik Mi-ho pada Sun-ho.
Sun-ho mengangguk dan mengajak Mi-ho pulang karena keadaan tidak enak.
In-ha berusaha menenangkan Hye-jung, namun Hye-jung semakin marah.
“Jadi kau datang ke sini untuk mengatakan hal ini? Jadi, kau ingin bersama Yoon-hee?”
Joon masuk ke kamar Hye-jung.
“Kalau kau sudah memilikinya, apa sudah cukup bagimu?” Hye-jung memukul jatuh tiang infusnya.
Joon menahan Hye-jung. Dia melihat ke In-ha dengan marah dan meminta In-ha pulang saja.
In-ha melihat Joon. “Bu, sudah cukup,” kata Joon pada Hye-jung.
Hye-jung memelototi In-ha terus.
“Sudah cukup, aku mohon padamu,” kata Joon dengan keras pada In-ha.
Joon merasa tidak sanggup lagi lalu berjalan keluar. In-ha memandangi Hye-jung dengan sedih.
Joon duduk di taman dan menghembuskan nafas. Dia merasa stress.
Ha-na datang dan mencolek punggung Joon. “Maaf, aku terlambat.”
Joon tersenyum dan mengajak Ha-na berkencan.
Mereka tertawa-tawa saat berkencan. Joon mencium pipi Ha-na saat mereka berjalan.
Hari sudah sore saat mereka pulang. Ha-na melihat baju-baju yang dibelikan Joon.
“Pakailah baju itu saat aku bersamamu karena aku yang membelinya,” kata Joon.
Ha-na mengangguk. “Apakah ibumu mengatakan sesuatu sehingga kau merasa bahagia?” tanya Joon pada Ha-na. “Ibu bertemu dengan cinta pertamanya. Mereka berdua pergi ke tempat yang dulu mereka kunjungi. Romantis kan? Melihat mereka bahagia, aku juga bahagia,” kata Ha-na sambil tersenyum. Dia tidak sadar Joon mendengarkan ceritanya dengan serius.
“Oh begitu...” Ha-na melihat Joon.
“Kebahagiaan ibumu benar-benar berarti banyak bagimu? Lebih penting dari kebahagiaanmu sendiri?” tanya Joon lagi. Ha-na berpikir sejenak dan menjawab, “Ya.”
Joon terkejut mendengar jawaban Ha-na.
“Meskipun aku tidak tahu apakah ini bisa diartikan berbohong, seperti ini sudah cukup. Ibu selalu ingin aku bahagia. Juga, Ibu dan pria itu sangat kasihan. Mereka saling mencintai, tapi mereka tidak bisa bersama.” Joon berhenti berjalan, Ha-na menoleh dan bertanya ada apa.
“Kalau... Maksudku sekarang aku hanya berkata bila...” Joon melihat ke belakang Ha-na. Ha-na akan menoleh namun langsung ditarik oleh Joon. Tas-tas belanjaan Ha-na terjatuh.
Di depan cafe ternyata In-ha sedang menunggu Joon.
Joon dan Ha-na berlari-lari. Setelah berhenti, Ha-na bertanya kenapa Joon menariknya.
Joon terdiam lalu menoleh. “Kita hanya bisa berjalan sampai di sini. Kita berpisah saja,” kata Joon.
Ha-na terkejut.
To be continued...
No comments:
Post a Comment