Ha-na memberi tebakan lucu agar Joon tertawa. Usahanya berhasil, Joon tertawa.
Dia
lalu memikirkan tebakan lucu lagi. Dia sudah menemukan tebakan lucu dan
menoleh, mau memberitahu Joon. Namun wajah Joon sangat dekat dengannya ,
lalu Joon menciumnya. Ha-na terkaget-kaget.
“Jangan lupa yang kali ini,” kata Joon. Dia lalu menoleh ke Ha-na yang masih terkaget-kaget.
“Aku akan sunguh-sungguh kali ini. Kau bisa mundur kalau kau mau.”Ha-na masih diam saja.
“Satu, dua, tiga,” hitung Joon. Karena Ha-na tidak bergerak sama sekali, Joon maju dan mencium Ha-na.
Tiba-tiba air mancur di belakang mereka menyembur. Ha-na menjauh dan berlari, takut bajunya basah.
Joon ikut berdiri dan kemudian menarik Ha-na, lalu menciumnya lagi. Tas di tangan Ha-na terjatuh.
Mereka berciuman lagi. Ha-na lalu mendorong Joon. Ha-na mengambil nafas dalam-dalam beberapa kali. Joon mengusap bibirnya.
“Sepuluh... Aku pikir kau akan menghitung sampai sepuluh,” kata Ha-na akhirnya. Dia merasa gugup. “Apa? Apa yang kau bicarakan?” Joon akan memprotes, namun dia melihat wajah Ha-na yang agak gugup.
Dia lalu menggandeng tangan Ha-na, mengangkatnya, dan menautkan jari-jari mereka. Joon lalu tersenyum ke Ha-na.
Ha-na dan Joon sudah sampai di rumah.
Joon melihat Ha-na yang masih terbengong-bengong kemudian masuk ke dalam.
Ha-na menyusul Joon dan memanggilnya. “Anu.. Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Ha-na dengan gugup.
“Apa maksudmu? Yang terjadi selanjutnya akan sesuai keinginanku,” kata Joon dengan yakin (kalo ga mau dibilang arogan..) Ha-na kaget. Joon lalu ganti bertanya apa yang diinginkan Ha-na. Ha-na masih tidak mengerti. Joon lalu meminta Ha-na memikirkan tentang hal itu dan tentang dia. “Sampai akhir minggu ini,” kata Joon lagi.
“Apa? Tapi akhir minggu hampir tiba,” Ha-na memprotes.
Joon dengan percaya diri bertanya apa lagi yang harus Ha-na pikirkan tentang pria seperti dia (banyak.. playboy dan arogan salah satunya..)
Ha-na memprotes bahwa banyak hal yang harus dia pikirkan. Tapi akhirnya dia menyetujui sampai akhir minggu. “Aku akan memikirkannya. Tentang seberapa besar aku menyukaimu... Kenapa aku menyukaimu...,” kata Ha-na dengan gugup.
Joon merasa senang karena Ha-na mengaku dia menyukai Joon. Joon lalu mengulangi lagi batas waktu akhir minggu. Ha-na masih akan membantah, namun terpotong dengan kedatangan Mi-ho dan Sun-ho. Mi-ho membawa koper Joon (datang deh si devil Mi-ho).
“Apa yang kau lakukan dengan koperku?” tanya Joon dengan kaget.
Sun-ho di samping Mi-ho tidak bisa berbuat apa-apa.
“Tempatku,” kata Mi-ho dengan pede.
“Apa?” Joon kaget dobel.
“Kau akan tinggal di tempatku,” kata Sun-ho sambil menunjuk-nunjuk Mi-ho (artinya itu permintaan Mi-ho). Joon mengerti kode Sun-ho.
“Ibu menyuruhku mengajakmu,” kata Mi-ho dengan manja. “Kalau kau bertengkar dengan ibumu, kau bisa tinggal di tempatku.”
Ha-na melirik Joon yang terlihat kesal. Dia menanti jawaban Joon.
“Oppa, kau tahu betapa aku terkejut menemukanmu tinggal di tempat seperti ini?”
Mi-ho lalu melirik Ha-na di samping Joon. “Apa kau akan tinggal dengannya di kamar tanpa kunci?”. Mi-ho lalu mulai menuduh Ha-na, namun dibela oleh Joon. “Dia tidak tahu apa-apa,” bela Joon.
“Aku juga tidak mau tinggal di sini sebenarnya,” kata Ha-na.
Joon melirik tajam Ha-na. “Betulkah?”
Ha-na mengedikkan bahu, tidak tahu harus berbuat apa. Joon semakin memelototi Ha-na dan menyuruh Ha-na mendukungnya.
Mi-ho baru sadar Ha-na dan Joon pulang bersama-sama dan bertanya mengapa mereka pulang bersama.
Sun-ho mengambil kesempatan itu dan berkata bahwa mereka saat ini sedang dekat.
Namun, Ha-na merusak kesempatan itu dengan mengatakan bahwa mereka tidak ada hubungan apa-apa. (aduh, Ha-na, yang penting usir si devil dulu, baru jujur..)
Mi-ho menyerang Ha-na lagi dengan memastikan bahwa Ha-na tidak nyaman bila dia dan Joon tinggal satu rumah. Ha-na hanya menjawab “Ya” dengan lemah.
Joon memelototi Ha-na lagi. Ha-na hanya menatap Joon dengan tatapan tak berdaya.
Mi-ho semakin bersemangat menyuruh Joon ke rumahnya. “Oppa, bila kau tidak peduli pada gadis-gadis, mereka akan mengejarmu. Kau terlahir dengan pesona. Ini bukan salahmu. Semua gadis jatuh cinta padamu.”
Joon menggerak-gerakkan kepalanya, seakan-akan menunjukkan pada Ha-na bahwa dia benar-benar tampan. “Itu tidak benar,” sela Ha-na dengan polos (hahahahaha...).
Joon akhirnya tidak tahan. “Apakah aku membuatmu tidak nyaman?”
Ha-na tidak menjawab apa-apa.
“Baiklah,” kata Joon lalu mengambil koper dari tangan Mi-ho.
Sun-ho bertanya apa Joon akan ke rumahnya atau pulang ke rumah Joon sendiri.
“Tentu saja tidak,” jawab Joon dengan singkat lalu menyeret koper pergi.
Mi-ho merasa senang karena Joon mengikuti permintaannya.
Sun-ho lalu mengejar Joon. Mi-ho akan mengikuti Sun-ho tapi dia memelototi Ha-na dulu baru kemudian pergi. Ha-na tidak membalas lalu kemudian dia masuk ke rumah.
Ha-na masuk ke rumah. Dia merasa kesal karena Joon dengan seenaknya pergi.
Dia lalu mengintip kamar Joon. Dia semakin kesal karena Joon masih memajang foto Mi-ho. “Dia memajang foto wanita lain. Apa yang dia ingin aku pikirkan?”
Di kamarnya Ha-na membayangkan Joon sedang merayu Mi-ho. Dia semakin kesal.
Dia meyakinkan dirinya bahwa Joon adalah playboy, jadi tidak ada yang perlu dia khawatirkan.
Ha-na lalu membayangkan saat dia dicium oleh Joon, tapi lalu tersadar dan merasa malu pada dirinya sendiri. “Apa aku sudah gila?” tanyanya pada diri sendiri.
Yoon-hee sedang mengantarkan In-ha sampai di depan.
Yoon-hee bertanya tentang anak In-ha, apakah dia mirip dengan In-ha.
In-ha bercerita bahwa Joon sedikit berbeda dengannya. In-ha bercerai saat Joon masuk kuliah, tapi In-ha keluar rumah sejak Joon berumur 10 tahun. Ini membuat Joon agak canggung dengan In-ha. In-ha sendiri merasa canggung dengan Joon.
In-ha lalu mengajak Yoon-hee kapan-kapan bertemu dengan Joon. Yoon-hee juga bisa mengajak putrinya. “Putrimu, putraku, dan kita berdua. Hanya kita berempat.”
Yoon-hee tidak menjawab.
Mereka sudah sampai pagar rumah Yoon-hee. Yoon-hee berhenti berjalan dan mengembalikan jas In-ha sambil meminta In-ha jangan datang lagi. In-ha hanya menggelengkan kepalanya.
Yoon-hee mengulangi permintaannya. Namun In-ha lagi-lagi menolaknya (go go, ajusshi!). “Aku akan datang setiap hari. Aku akan melakukan apapun yang kusuka mulai sekarang.” In-ha mengambil jaketnya. Dia berkata dia berharap bisa bersama Yoon-hee sedikit lebih lama. Tapi dia akan pulang malam ini. Dia lalu pamit pulang.
In-ha berjalan lalu membalikkan badannya dan melambaikan tangan pada Yoon-hee. Dia kemudian berjalan lagi. Yoon-hee menatap punggung In-ha dengan perasaan campur aduk.
Joon sedang check-in di lobi hotel.
Dia menoleh dan melihat Tae-sung berjalan bersama seorang wanita. “Itukah alasan dia ditolak?”
Tae-sung dan (mungkin) kekasihnya bertemu dengan Sun-ho dan Mi-ho yang menyusul Joon. Mi-ho ternyata Tae-sung dan menyapanya. Kemudian Mi-ho berpamitan.
Mi-ho melihat Joon dan memanggilnya. “Oppa!”
Tae-sung mendengarnya dan menoleh. Tae-sung terkejut melihat ada Joon di sana. Joon memandang tajam Tae-sung. Tae-sung salah tingkah.
Joon kemudian bertanya pada Mi-ho apa yang dia lakukan di sana.
Sun-ho melihat arah pandangan Joon dan bertanya apa dia mengenal Tae-sung.
Joon menjawab bahwa dia pernah bertemu dengan Tae-sung beberapa kali. Joon kemudian bertanya pada Mi-ho bagaimana dia bisa mengenal Tae-sung.
“Dia kakak temanku. Dia adalah putra kedua Grup Joo Am, yang punya hotel ini. Han Tae-sung (chaebol juga ternyata...).” Joon kaget mendengar jawaban Mi-ho. (ya iyalah, dipikir Joon, Tae-sung cuma tukang kebun hehehehe...)
“Aku dengar dia akan segera bertunangan. Wanita itu pasti tunangannya,” lanjut Mi-ho.
“Apa?” Joon semakin kaget.
“Apa kau mengenalnya?” tanya Mi-ho.
Namun, Joon tidak menjawab dan berjalan menuju kamarnya.
Mi-ho mengejar Joon dan membujuk Joon agar mau tinggal di rumahnya.
Joon sudah capek dikejar Mi-ho. Dia akhirnya berkata bahwa dia sudah punya seseorang.
Sun-ho terlihat senang mendengar pengakuan Joon.
Joon kemudian pamit. “Seseorang?” Mi-ho masih kaget (iya, jadi ga usah nguber2 lagi ya...). “Kau tidak perlu tahu,” goda Sun-ho.
Joon akan mencuci muka. Tangannya menyenggol tas perlengkapan mandinya sehingga isinya berserakan. Joon memunguti barang-barangnya. Dia melihat sebuah cincin dan ingat bahwa itu cincin Ha-na yang ditemukan oleh bagian laundry saat di Jepang.
Dia mengambil cincin itu dan menyadari bahwa cincin itu adalah cincin untuk pria. Dia menebak-nebak untuk siapa cincin itu dan langsung memikirkan Tae-sung.
Ha-na mengunci pintu rumah, menyalakan alarm, dan mematikan lampu.
Dia lalu pergi ke dapur dan menuangkan susu untuk dipanaskan.
Dia memikirkan Joon. “Apakah dia pulang ke rumah? Apakah dia tidur di hotel? Atau dia pergi bersama wanita itu?”
Ha-na menjadi kesal dan tanpa sadar menghabiskan satu kotak susu.
Dia kemudian menyalakan kompor.
Ha-na masuk kamar sambil terus memikirkan di mana Joon tidur malam ini.
Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa Joon pasti tidur di hotel karena Joon tidak punya tempat lain untuk dituju.
Ha-na melirik ponselnya dan mengomel karena Joon tidak menghubunginya sama sekali.
“Baiklah, aku tidak akan menghubungimu!” kata Ha-na, kesal.
Joon sedang minum anggur saat ada pesan masuk di ponselnya. Dia membukanya. Ternyata itu pesan dari Ha-na (ga tahan juga akhirnya hahaha..).
Ha-na bertanya di mana Joon.
Joon merasa senang dan menelepon Ha-na.
Ha-na sedang menunggu balasan Joon. Dia terkejut saat Joon meneleponnya. Ha-na panik karena dia pikir Joon akan membalas pesannya, bukan meneleponnya.
Dia lalu berpura-pura tenang dan menjawab telepon Joon. “Halo?”
“Kau ingin tahu di mana aku?” tanya Joon, menggoda Ha-na.
Ha-na mengelak dan mengatakan bahwa dia bukannya ingin tahu di mana Joon.
“Apa? Bukannya kau khawatir aku mungkin bersama wanita lain?”
Ha-na salah menjawab dan memberi kesan dia tidak peduli Joon sedang bersama siapa. Ha-na memukul-mukul kepalanya. Joon marah. Dia merasa kecewa karena dia pikir Ha-na peduli dia sedang bersama siapa. Joon akan menutup telepon, namun tidak jadi karena Ha-na berkata bahwa Joon bahkan pergi ke Paris dengan orang lain.
Ha-na sadar dia salah bicara lagi dan memberi kesan dia cemburu.
“Apa? Aku pergi karena pekerjaan. Dengan semua stafku,” jawab Joon.
“Jadi, pemotretan itu.. Pemotretan itu..” Ha-na terbata-bata.
Joon tertawa. “Kau ingin aku ke sana sekarang juga?” tanya Joon.
Ha-na tidak langsung menjawab.
“Kau ingin aku ke sana?” tanya Joon lagi.
Ha-na akan menjawab saat dia mendengar suara dari dapur. Dia langsung ingat bahwa dia memanaskan susu.
Ha-na meminta Joon melanjutkan pembicaraan nanti saja dengan panik dan langsung menutup telepon.
Ha-na melemparkan ponselnya dan jatuh di pinggir ranjang.
“Hei! Hei!” Joon memanggil-manggil namun sambungan terputus.
Ha-na berlari-lari ke dapur. Susu yang dipanaskannya tumpah dan mengotori kompor.
Joon berusaha menghubungi Ha-na berkali-kali, namun tidak ada jawaban.
Joon mulai khawatir. Dia akhirnya berlari-lari keluar hotel dan menyetop taksi.
Sampai di rumah, Joon melompat pagar. Dia akan membuka pintu depan, namun tidak bisa karena dikunci dari dalam. “Jung Ha-na! Hei, buka pintunya!”
Joon menuju cafe dan mengetuk-ngetuk jendela cafe, tapi tetap tidak ada jawaban.
Dia berteriak memanggil-manggil Ha-na, “Jung Ha-na, kau bisa mendengarku?” tapi masih tidak ada jawaban.
“Apa yang terjadi?” Joon semakin khawatir.
Joon menoleh dan melihat tangga. Dia memutuskan naik tangga lewat balkon.
Ha-na ternyata sedang mandi.
Begitu menjejakkan kakinya di balkon, alarm yang dipasang Ha-na berbunyi.
Joon kaget karena tidak menyangka alarm diaktifkan.
Ha-na berlari-lari keluar kamar mandi saat mendengar alarm berbunyi.
Dia membuka jendela.
Joon kaget saat melihat Ha-na muncul mengenakan baju mandi. Ha-na kaget dan Joon terjatuh. (huahahahahahaha..)
Ha-na meminta maaf berkali-kali pada polisi yang datang.
“Kau tidak perlu minta maaf. Itu pekerjaan mereka,” kata Joon setelah para polisi pulang.
“Kau membuat mereka datang kemari malam-malam. Tidakkah kau merasa bersalah? Kenapa kau naik ke balkon?” tanya Ha-na.
“Kenapa kau tidak menjawab ponselmu? Kau membuatku khawatir.”
Joon akan berdiri, namun dia kesakitan karena kakinya terkilir. Joon melihat Ha-na lalu berdiri lagi.
Dia melepas jaketnya dan memakaikannya ke kepala Ha-na sambil berkata, “Rambutmu. Bagaimana bila kau terkena flu?”
“Jangan pernah menutup telepon dengan cara seperti itu. Aku pikir sesuatu yang buruk terjadi. Jadi aku berlari seperti orang idiot,” kata Joon lagi. Dia lalu berbalik pergi dan berjalan dengan kesakitan.
Ha-na merasa bersalah, namun dia juga senang melihat Joon khawatir dan perhatian padanya.
Joon masuk ke kamar. Dia lalu melepas foto besar Mi-ho dari dinding kamarnya.
Ha-na dari kamarnya bertanya dengan khawatir di mana kotak P3K, namun Joon menjawab bahwa dia tidak apa-apa. “Apa kau yakin?” tanya Ha-na lagi.
“Ya,” jawab Joon sambil mengusap-usap kakinya.
Setelah diam sejenak, Ha-na bertanya di mana Joon tadi. Joon menjawab bahwa dia di hotel. Ha-na lega karena Joon tidak di rumah Mi-ho.
“Apa kau tidak kembali?” tanya Ha-na lagi.
“Aku akan tidur di sini saja. Aku tidak ingin berlari-lari ke sini untukmu lagi.” Jawaban Joon membuat Ha-na senang. Dia tersenyum-senyum.
Joon merasa Ha-na senang, dia lalu mengintip Ha-na dari rak buku.
“Apa kau senang?” tanya Joon.
“Tidak,” jawab Ha-na berbohong.
“Kau tersenyum,” goda Joon.
“Aku tidak tersenyum,” bantah Ha-na lagi.
“Kau tersenyum,” goda Joon lagi.
Ha-na akhirnya merasa aneh karena Joon tahu dia tersenyum. Dia menoleh ke rak buku dan melihat Joon sedang mengintipnya. Joon langsung menjatuhkan badannya.
“Apa-apaan ini? Sejak kapan kau melihat lewat sini?” Ha-na kaget. Dia langsung curiga bahwa Joon selama ini mengintipnya.
“Aku tidak melihat apa-apa,” jawab Joon sambil menutup mukanya dengan bantal.
Ha-na mengambil buku dan berbagai macam barang untuk menutup lubang buku di rak.
Joon berdiri dan bertanya apa yang Ha-na lakukan. Dia berjanji tidak akan melihat lagi karena tidak ada yang bisa dilihat dari Ha-na.
Namun, Ha-na masih menambah barang lagi.
“Itu hanya gurauan. Berhentilah bersikap seperti anak-anak,” bujuk Joon.
Ha-na tidak mempedulikannya dan terus bekerja. Ha-na akan menutup lubang terakhir, namun Joon minta agar membiarkan satu lubang itu sebagai jendela.
“Kenapa kita perlu jendela?” tanya Ha-na dengan heran sekaligus kesal.
“Ada barang-barang yang harus kita tukar,” jawab Joon.
“Aku tidak punya barang yang harus ditukar,” jawab Ha-na lalu akan menutup lubang.
Tangan Joon menahan Ha-na. “Sebentar,” katanya, lalu mengambil cincin milik Ha-na.
Ha-na kaget. Joon memberitahunya bahwa dia meninggalkan cincin itu di Jepang.
“Itu cincin pria. Untuk siapa itu? Apa untuk dia?” tanya Joon.
Ha-na mengalihkan pandangannya. Joon semakin curiga bahwa cincin itu untuk Tae-sung. “Apa benar untuk dia?”
Ha-na menjawab bahwa dia belum memiliki seorang yang khusus untuk diberi cincin itu. Dia dulu membelinya saat di pasar loak. Dia berencana akan memberikan cincin itu bila sudah menemukan orang yang tepat.
“Berikan cincin itu padaku. Selesaikan masa berpikirmu dan berikan padaku.”
Yoon-hee keluar rumah. Di luar, In-ha sudah menunggunya sambil membawa keranjang makanan. In-ha mengajak Yoon-hee sarapan bersama.
In-ha membawa banyak makanan. Yoon-hee bertanya bagaimana dia akan menghabiskan makanan sebanyak itu. In-ha menjawab dengan santai mereka akan memakan bersama.
In-ha membawa berbagai macam jenis kopi karena dia tidak tahu kesukaan Yoon-hee.
Yoon-hee menundukkan kepala. In-ha lalu berkata meskipun Yoon-hee memasang muka cemberut, dia akan tetap datang setiap hari.
Yoon-hee memandang In-ha. In-ha mengubah posisi duduknya, dan berkata, “Kau sanagt dekat denganku, tapi aku tak pernah tahu. Tidakkah ini aneh?”
Yoon-hee terus memandangi In-ha.
“Jangan memandangiku seperti itu. Di dalam memorimu, aku adalah pemuda usia 20-an. Aku tidak bisa bersaing. Apakah aku berubah... Seberapa banyak aku berubah? Bagaimana bila kau tidak menyukaiku karena aku berubah? Aku mengubah penampilanku beberapa kali. Aku bahkan bercukur.” In-ha lalu membuka kacamatanya dan bertanya pendapat Yoon-hee. “Kau tidak berubah sedikit pun,” jawab Yoon-hee.
“Kalau begitu, raih tanganku,” pinta In-ha.
Yoon-hee menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kau bisa melakukannya. Aku akan membuatnya terjadi,” kata In-ha dengan penuh tekad.
Sun-ho memeriksa kesehatan Ha-na. Hasil Ha-na sangat bagus. Sun-ho dengan bercanda mengatakan bahwa bila semua pasien sebaik Ha-na, maka tidak akan ada dokter.
Ha-na mengamati Sun-ho dan menyadari bahwa kacamata Sun-ho tidak ada lensanya. Sun-ho menjawab bahwa dia memakai kacamata agar terlihat pintar.
Sun-ho lalu berkata bahwa mulai sekarang Ha-na bisa mendatangi Sun-ho bila Ha-na merasa sakit, bahkan bila Ha-na patah hati. Sun-ho berkata bahwa patah hati adalah spesialisasinya. Mereka lalu tertawa bersama.
Joon lewat dan bertanya apa yang membuat mereka cekikikan.
“Cekikikan?” Ha-na tidak terima.
Sun-ho berbisik bahwa Joon merasa cemburu.
“Apa yang kau bisikkan?” tanya Joon lagi.
Sun-ho semakin menggoda Joon. Dia sengaja meletakkan tangannya di pundak Ha-na.
Joon akan maju, namun Sun-ho langsung menarik tangannya dan berdiri sambil tertawa. (hahaha.. Joon cemburu..) “Oke, oke, aku pergi.”
Joon melirik Ha-na yang memelototi Joon.
Joon kemudian berjalan keluar bersama staf-stafnya.
“Apakah berkata ‘bye’ akan membunuhmu?” kata Ha-na kesal karena Joon tidak pamit pergi.
Sun-ho kembali lagi dan mengambil barang-barangnya yang ketinggalan sambil tersenyum pada Ha-na. Dia lalu pergi lagi.
Ponsel Ha-na berbunyi. Ternyata ada pesan dari Joon. “Aku ada pemotretan. Berhenti bermain dengan Sun-ho dan berangkatlah sekolah.”
Ha-na merasa senang karena Joon ada niatan berpamitan padanya.
Di kelas, Ha-na ber-sms-an dengan Joon. Dalam jarak waktu 10 menit, Joon sudah dua kali bertanya apa yang Ha-na lakukan.
Di mobil, Joon tertawa-tawa sambil ber-sms-an dengan Ha-na.
Jo Soo memanggil penata gaya di sampingnya. “Hei! Hei! Apa arti senyuman itu?”
“Dia sedang jatuh cinta! Dia sedang jatuh cinta!” jawab penata gaya dengan sembunyi-sembunyi dan heboh. Joon merasa bahwa mereka membicarakannya dan bertanya, “Apa?”
Jo Soo langsung berpura-pura bahwa penata gaya sedang jatuh cinta dan baru mendapat pacar pria baru.
Jo Soo menyuruh Joon melanjutkan kegiatannya. “Tetaplah tersenyum-senyum pada ponselmu. Ponsel sekarang sangat lucu. Mereka membuat kita tertawa terus. Hahahaha..”
“Apa kau gila? Kenapa kau harus tersenyum-senyum pada ponselmu?” kata Joon dengan sinis. Jo Soo diam saja, tidak berani membantah.
Joon melihat ponselnya lagi dan tertawa lagi. (hehehe.. senyum2 sendiri liat gaya Joon dan Ha-na yang falling in love)
Ha-na sudah selesai kuliah. Dia mengabari Joon bahwa dia akan pulang awal dan merencanakan pekerjaan di taman untuk besok.
Joon mendukung rencana Ha-na dan menyuruh Ha-na langsung pulang seusai kuliah.
Joon marah pada stafnya karena tidak becus mencari tempat pemotretan. “Hei! Tema pemotretan adalah travelling! Kalian pikir tempat ini cocok?”
Para staf Joon ketakutan. Ponsel Joon berbunyi. Ha-na bertanya siapa yang menjadi model hari ini. Joon merasa senang Ha-na khawatir.
Mi-ho baru datang dan memanggil Joon. “Oppa!”
Joon membalas pesan Ha-na sambil tersenyum jahil, “Mi-ho!”
Ha-na membaca sms Joon. Ha-na merasa cemburu. “Kalau begitu, aku juga tidak akan langsung pulang.”
Hye-jung pergi ke resort tempat Yoon-hee bekerja. Dia bertemu dengan petinggi resort. (ayah Tae-sung mungkin)
Pegawai resort memberitahu Yoon-hee bahwa dia ditunggu oleh atasan mereka. Yoon-hee merasa heran karena atasan mencarinya.
Hye-jung dan petinggi resort masuk ke sebuah hall. Kemudian mereka duduk dan berbincang-bincang. Hye-jung berkata dia akan sering ke sini karena dia memiliki urusan personal dengan salah seorang staf di resort.
Tae-sung melihat Yoon-hee akan masuk ke hall. Dia merasa aneh, namun tidak berkata apa-apa dan terus berjalan.
Yoon-hee masuk ke dalam dan memberi salam.
Hye-jung dan Yoon-hee saling berpandangan sambil terkejut. Hye-jung kemudian berdiri dan mendatangi Yoon-hee. “Yoon-hee, ini benar-benar kau?” tanya Hye-jung, dia lalu memeluk Yoon-hee.
Tae-sung mendapat informasi dari asistennya bahwa yang mengunjungi Yoon-hee adalah Baek Hye-jung dari Kazar.
“Kazar, partner resort ini?” Tae-sung memastikan.
“Ya. Sejak dimulainya proyek ini, kita akan mengadakan seluruh fashion show di sini.”
Tae-sung tidak berkata apa-apa lagi dan terus melihat ke arah Hye-jung dan Yoon-hee.
“Aku tidak menyangka kita bisa berjalan bersama seperti ini,” kata Hye-jung.
“Aku benar-benar senang,” kata Yoon-hee sambil tersenyum.
Hye-jung tiba-tiba berhenti berjalan dan menoleh ke Yoon-hee. “Kau tahu alasan aku datang kemari kan?”
Yoon-hee dan Hye-jung berbicara di kantin resort.
Yoon-hee memandang Hye-jung dengan kaget.
“Sepertinya kau tidak mengira sama sekali,” kata Hye-jung.
“Tidak,” jawab Yoon-hee.
“Dia mungkin tidak mengatakannya. Tapi, ini benar. Sebelum kau datang, kami membicarakan kemungkinan bersama lagi (siapa yang mau?). Bagi In-ha, masa lalu lebih penting daripada masa sekarang. Itu adalah halangan terbesar bagi pernikahan kami.”
“Maaf,” kata Yoon-hee dengan menyesal.
Hye-jung melirik Yoon-hee. “Aku benar-benar benci kata maaf.”
Yoon-hee melihat Hye-jung. Hye-jung tersenyum terpaksa.
“Ini bukan salahmu. In-ha lah yang tidak bisa tersadar. Cinta bukan seperti ini. Punya anak bersama, membesarkannya bersama. Dan melalui semua kesulitan... lebih penting daripada cinta pertama. Dia hanya mengejar bayangan. Itu semua adalah masa lalu. Jadi lepaskan dia lagi. Aku rasa aku tidak bisa mengatakan ini padamu lagi. Tolong menghilanglah dari hidup kami. Kalau kau tidak mundur, aku akan memaksamu mundur (ngancam dia... ck3). Maaf, aku hanya tidak bisa bahagia melihatmu kembali.”
Joon memotret dengan mood buruk.
Hanya beberapa kali memotret, dia minta pindah lokasi. Begitu seterusnya.
Jo Soo geregetan melihat tingkah Joon, namun tidak mengutarakannya.
“Selanjutnya!” Joon memberi perintah. Dia lalu mengomel, “Kalian pikir kegiatan luar bisa disebut travelling? Ini piknik! Bukan travelling!”
Joon, Jo Soo, Mi-ho, dan penata gaya pulang dalam suasana buruk. Jo Soo melirik Joon melalui kaca spion. Mi-ho mencoba menyemangati Joon. Joon tidak menggubrisnya.
Mi-ho lalu mendekati Joon dan berkata bahwa ada sesuatu yang ingin dia beritahu.
“Apa?” tanya Joon.
Mi-ho berkata bahwa Ha-na seumuran dengannya. “Bukankah Oppa bilang aku terlalu muda? Dia juga masih muda. Lihat aku.”
Mi-ho kemudian berpose namun Joon terus melihat ke luar.
Jo Soo tersenyum melihat usaha Mi-ho.
Tiba-tiba Joon menyuruh Jo Soo menghentikan mobil.
“Apa? Di jalan tol?” Jo Soo terkejut.
“Berhenti!” perintah Joon lagi.
Mereka berhenti di tepi jalan tol.
Joon memotret Mi-ho dari berbagai macam posisi.
Jo Soo dan Mi-ho mengecek hasil pemotretan Joon. Jo Soo mengacungkan jempol melihat hasil kerja Joon.
“Itulah kenapa kau harus lahir dengan talenta,” kata Joon dengan penuh percaya diri kemudian berjalan pergi dengan gagah dan mencari angle yang pas lagi.
Jo Soo semakin geregetan. (hahahaha.. Sabar, Jo Soo...)
Pemotretan sudah selesai.
Mi-ho mendatangi Joon yang akan masuk mobil dan mengajak Joon pergi ke hotel tempat Joon menginap. “Baiklah. Anggaplah tempat itu hotel,” kata Joon. Mi-ho bingung mendengar jawaban Joon.
Joon kemudian berkata bahwa dia sibuk dan ada hal penting yang harus dia lakukan. Joon kemudian masuk mobil dan langsung menutup pintunya.
“Oppa! Oppa!” panggil Mi-ho dari luar mobil.
Ha-na sedang bekerja di taman saat Joon datang dan bersandar di punggung Ha-na.
“Apa-apaan ini?” tanya Ha-na kaget.
“Sebentar saja. Biarkan aku seperti ini sebentar saja. Ini hari yang benar-benar melelahkan bagiku,” kata Joon sambil menghembuskan nafas lelah.
Ha-na membiarkan Joon bersandar padanya sambil tersenyum-senyum.
Sun-ho yang baru selesai memeriksa pasien keluar dan mengintip mereka dengan senang.
Dia kemudian memanggil Jo Soo dan penata gaya yang baru datang.
Penata gaya dan Jo Soo terkejut melihat Ha-na dan Joon. “Jadi Ha-na?” tanya Jo Soo.
Joon mengeluarkan kalung dari kantongnya dan mengangkatnya ke dekat wajah Ha-na.
“Apa itu?” tanya Ha-na.
“Salju Berlian,” jawab Joon.
Ha-na menerima kalung dari Joon.
“Besok adalah batas waktu,” kata Joon lagi. “Kau harus memberitahuku seberapa besar kau menyukaiku, dan kenapa kau menyukaiku. Aku akan menunggu jawabanmu.”
Joon kemudian berdiri. Jo Soo, Sun-ho, dan penata gaya langsung masuk ke dalam.
Joon masuk ke dalam. Ha-na terdiam, berpikir.
Ha-na memandangi kalung dan berkata bahwa dia tidak biasa memakai perhiasan. Namun, kemudian dia tersenyum.
Yoon-hee sedang duduk sendirian sambil berpikir.
Teman kerjanya memanggilnya lalu duduk di samping Yoon-hee. Dia bertanya siapa yang baru saja ditemui Yoon-hee. “Teman lama,” jawab Yoon-hee.
“Anda pasti senang. Baguslah. Anda terlihat sedikit kesepian akhir-akhir ini,” kata teman kerja Yoon-hee.
“Ya. Karena itu aku akan memberi bantuan kecil kepadanya,” kata Yoon-hee. (menuruti permintaan Hye-jung pasti)
Hye-jung bertemu dengan Dong-wook dan Chang-mo. Mereka awalnya bercanda, namun saat Hye-jung bertanya apa yang harus mereka katakan padanya, situasi jadi tegang.
“Kami akan mengunjungi Yoon-hee,” kata Dong-wook.
“Kami pikir akan lebih baik bila kami memberitahumu dulu,” timpal Chang-mo.
Hye-jung kaget. Dia kemudian bertanya apa In-ha yang meminta mereka menemui Yoon-hee. Chang-mo membantah. Dia berkata bahwa bagaimanapun mereka adalah teman lama. Dong-wook juga pernah punya hubungan spesial dengan Yoon-hee.
“Kami menghargai keputusanmu. Jadi, kau harus memutuskan,” kata Dong-wook.
Hye-jung diam saja. Dong-wook kemudian pamit menyanyi.
Setelah Dong-wook pergi, Hye-jung mendecakkan lidahnya dengan kesal.
“Dasar wanita bermuka dua (siapa ya yang bermuka dua?). Dia meminta bantuan kalian sekarang? Aku pikir aku sudah bicara dengan jelas,” kata Hye-jung menahan marah.
Chang-mo terkejut mendengar perkataan Hye-jung. “Apa? Kau pergi menemuinya?”
Chang-mo masih ingin mendesak Hye-jung, namun Hye-jung tidak mau menjawab dan minta minuman lagi.
Hye-jung minum sampai mabuk. Chang-mo mengantar Hye-jung sampai mobilnya.
Hye-jung masih berceloteh tentang dia yang tidak akan membiarkan Yoon-hee selamanya.
“Lepaskanlah dia,” kata Chang-mo.
“Kenapa?” tanya Hye-jung sambil mabuk.
“Cobalah memiliki hati! Berhenti bertingkah seakan-akan kau korban dalam hal ini.”
“Apa?” tanya Hye-jung tidak mengerti.
“Kalau kau tidak berkata bahwa Yoon-hee meninggal, In-ha pasti akan mencari Yoon-hee.”
“Aku pikir dia meninggal!” bantah Hye-jung.
“Betulkah?” Chang-mo tidak percaya.
Hye-jung tidak menjawab dan menghembuskan nafas.
“Juga.. Yang sebenarnya adalah kau yang membuat hidup In-ha menyedihkan.” (Chang-mo, baru kali ini kau bertindak benar...^^). Chang-mo lalu menutup pintu mobil. Hye-jung berpikir.
Dong-wook pulang rumah dalam keadaan mabuk. Sun-ho membopongnya sambil bertanya apa ada berita gembira. Dong-wook bercerita bahwa teman yang dia kira meninggal tenyata masih hidup. Dong-wook kemudian bertanya apa Sun-ho sudah menemukan cinta pertamanya. Dia kemudian berkata bahwa generasi jaman sekarang sama sekali tidak romantis, berbeda dengan jamannya dulu.
“Cerita cinta pertama lagi?” tanya Sun-ho dengan sabar.
Dong-wook bercerita tentang Yoon-hee lagi.
Sun-ho langsung mengira bahwa cinta pertama ayahnya lah yang ternyata masih hidup.
Dong-wook membenarkan, kemudian meminta Sun-ho merahasiakan dari ibunya.
Sun-ho hanya tertawa. Dong-wook kemudian masuk kamar.
Sun-ho terlihat berpikir kemudian dia menuju ruang kerja ayahnya.
Sun-ho mencari-cari foto lama ayahnya di buku-buku.
Dia membuka sebuah buku dan foto-foto itu terjatuh, dia kemudian memungutinya.
Dia memandangi foto-foto itu. Dia melihat sebuah foto dan kaget. “Dia benar-benar mirip dengan pria itu,” katanya.
Tiba-tiba Mi-ho muncul dengan mengenakan masker.
“Kau menakutiku,” kata Sun-ho dengan kaget.
Mi-ho ikut mengamati foto-foto cinta pertama ayahnya. Dia lalu tersadar bahwa foto Yoon-hee mirip dengan Ha-na. “Tukang kebun? Kenapa dia mirip sekali dengan tukang kebun?”
Ha-na memakai kalung pemberian Joon. Namun, dia merasa tidak terlalu bagus memakainya.
Dia kemudian tersenyum sendiri dan mengambil cincin dari kotak.
In-ha mendatangi Yoon-hee sambil tersenyum senang. Dia kemudian menyapa Yoon-hee yang sudah menunggunya.
“Hai. Aku merasa tidak enak karena tidak bisa ke rumahmu tadi pagi. Ayo pergi membeli kopi,” kata In-ha dengan senang.
Yoon-hee memandangi In-ha dengan sedih. Dia kemudian menundukkan kepalanya.
Ha-na masuk ke kamar Joon. Dia merasa tegang. Dia lalu meletakkan cincin di meja Joon sambil menutup mata dan buru-buru keluar.
Karena cepat-cepat keluar, dia menabrak meja dan kesakitan.
Tiba-tiba Joon masuk dan bertanya apa yang dilakukan Ha-na.
Ha-na bingung akan menjawab apa, dia lalu ganti bertanya apa Joon tidak bekerja.
Joon maju. Ha-na mundur. Joon memiringkan kepalanya seakan-akan akan mencium Ha-na, namun ternyata Joon hanya mengambil tas. Dengan santai Joon lalu mengambil minuman dan melihat-lihat kertas yang dibawanya.
Ha-na merasa malu karena sudah berpikir yang tidak-tidak.
Ha-na menunggu Joon berkata sesuatu, namun ternyata Joon tidak berkata apa-apa. Ha-na lalu keluar dengan kesal. Joon melirik saat Ha-na keluar.
Ha-na turun tangga sambil mengomel karena Joon bertingkah bodoh. Dia teringat cincin yang sudah terlanjur diletakannya di meja Joon. Dia berpikir akan mengambilnya lagi saat Joon turun tangga juga.
Ha-na berlari-lari turun. Joon mencari Ha-na namun tidak ketemu.
Ha-na berlari-lari keluar. Dia berpura-pura merawat bunga saat Joon muncul.
Joon berhenti dan berkata, “Aku akan menyelesaikan pekerjaan lebih awal hari ini. Tunggu aku.” Dia lalu pergi. Ha-na tersenyum.
Di luar Joon mengepalkan tangannya, merasa gembira. Dia lalu berjalan lagi dengan cool.
Dia bertemu Sun-ho dan meminta Sun-ho memberitahu Ha-na 3-4 hal baik tentang diri Joon. “Sampaikan semua kebaikan hatiku,” pesan Joon. Dia lalu pamit.
Sun-ho berpikir apa hal baik tentang Joon, namun dia tidak bisa menemukannya. “Sampai 3 atau 4 tidak ya?” (hahahaha...)
Sun-ho masuk dan membalas salam Ha-na. “Dia benar-benar mirip dengannya,” kata Sun-ho berbicara sendiri.
Yoon-hee dan In-ha berbicara di sebuah cafe. In-ha terkejut mendengar Yoon-hee memintanya agar jangan datang ke rumahnya lagi karena dia akan kembali ke Amerika.
“Apa kau lari lagi?” tanya In-ha.
“Ya, aku lari lagi,” jawab Yoon-hee jujur.
“Hidupku sepi. Orang tuaku meninggal saat aku masih kecil. Aku kehilanganmu. Nenekku meninggal. Dan aku menjadi janda. Aku rasa mungkin itu alasan aku masih mengenangmu di dalam hatiku. Ingatan tentangmu seperti perlindungan untukku. Aku tidak ingin merasakan kehilangan lagi di hidupku. Jadi, aku tidak akan memulai lagi hubungan denganmu.” In-ha memandangi Yoon-hee.
In-ha duduk merenung saat Yoon-hee keluar. Dia lalu berdiri dan memutuskan mengejar Yoon-hee.
“Yoon-hee ssi!” panggil In-ha. Yoon-hee tidak menggubrisnya.
“Kim Yoon-hee!” Yoon-hee terus berjalan.
“Yoon-hee ya!” In-ha akhirnya memanggil Yoon-hee dengan panggilan akrab.
Yoon-hee berhenti dan menoleh. Mereka saling berpandangan.
In-ha berjalan maju. Yoon-hee merasa tidak sanggup pergi bila dia berbicara lagi dengan In-ha.
Dia menyeberang tanpa menoleh. Sebuah mobil akan menabraknya, namun In-ha mendorong Yoon-hee ke trotoar. In-ha akhirnya tertabrak. Kertas-kertas yang dibawanya berhamburan.
Sun-ho menunggu Ha-na pulang sekolah. Dia menyambut Ha-na di depan.
Ha-na mengabari Sun-ho bahwa akan ada kiriman tanaman.
Sun-ho kemudian bertanya kondisi keluarga Ha-na.
Ha-na menjawab bahwa dia punya seorang ibu dan bekerja sebagai ahli tanaman.
“Oh, tidak apa-apa,” kata Sun-ho.
“Apa?” tanya Ha-na heran.
“Aku kira dia adalah seorang yang aku tahu. Tapi dia punya pekerjaan yang berbeda,” jelas Sun-ho.
“Oh, dia tidak kuliah di jurusan itu. Dia dulu kuliah di jurusan Pendidikan Keluarga. Di universitasku yang sekarang.” Sun-ho kemudian bertanya di mana Ha-na dilahirkan. Ha-na menjawab bahwa dia lahir di Amerika.
Sun-ho akan bertanya lagi, namun Tae-sung yang mengirim tanaman memanggil Ha-na.
“Sunbae!” Ha-na kaget. Dia tidak menyangka Tae-sung akan mengirimnya sendiri.
Tae-sung berkata bahwa dia merindukan Ha-na.
Ha-na menganggap Tae-sung bercanda, namun Sun-ho memandangi mereka dengan penasaran. Sun-ho akhirnya ingat bahwa dia pernah melihat Tae-sung di hotel bersama dengan Mi-ho dan Joon.
“Kalian berdua saling kenal?” tanya Ha-na.
Sun-ho merasa bahwa Tae-sung menyembunyikan sesuatu, dia tidak langsung menjawab.
Ha-na masih akan bertanya lagi, namun dia mendengar Joon sudah pulang.
“Sunbae, kau tidak boleh sampai tertangkap!” Dia langsung menarik tangan Tae-sung dan mengajaknya pergi.
Joon melihat Ha-na yang berlari-lari sambil menarik tangan seorang pria. “Siapa itu?” tanyanya ke Sun-ho. Sun-ho kebingungan akan menjawab apa.
Ha-na menarik Tae-sung sampai ke belakang cafe. Mereka keluar lewat pintu belakang. Ha-na mengusap-usap dadanya karena tegang.
“Kau bekerja di tamannya?” tanya Tae-sung.
“Ya, bahaya kalau kita sampai tertangkap,” jawab Ha-na.
Tae-sung langsung merasa ada yang istimewa antara Ha-na dan Joon.
“Apakah akan menjadi masalah serius kalau kita sampai tertangkap?”
Ha-na menatap Tae-sung dan bingung akan menjawab bagaimana.
Tae-sung memegang pundak Ha-na dan mengajak Ha-na kembali ke resort. Dia akan mencarikan pekerjaan untuk Ha-na. Ha-na tidak langsung menjawab.
“Kalau kau merasa tidak nyaman karenaku...” Perkataan Tae-sung dipotong oleh Ha-na.
“Bukan begitu.” Ha-na menurunkan tangan Tae-sung. “Aku merasa tidak nyaman bukan karenamu. Jangan khawatir. Juga... Aku benar-benar ingin tinggal di sini sekarang. Tentu saja... Aku berterima kasih Sunbae datang kemari.”
Pintu belakang terbuka. “Terima kasih?” tanya Joon. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Ha-na dan Tae-sung kaget Joon tiba-tiba muncul.
Joon mendatangi Ha-na dan menarik tangannya.
“Kenapa kau menariknya?” tanya Tae-sung.
“Karena aku punya hak!” jawab Joon menantang. “Siapa kau sebenarnya? Jangan datang kemari lagi. Dia milikku.” Joon menarik Ha-na masuk dan membanting pintu.
Tae-sung kesal tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Joon menarik tangan Ha-na. Ha-na menyuruh Joon melepaskan tangannya.
Joon akhirnya melepas tangan Ha-na.
“Aku sedang berbicara dengannya,” kata Ha-na menjelaskan.
“Kau dicampakkan pria macam itu dan kau berterima kasih padanya?” cecar Joon.
Ha-na membela Tae-sung. Joon semakin marah. “Apa kau tahu betapa dia membodohimu?”
Ha-na juga ikut marah. “Sunbae adalah orang yang penting bagiku. Dia seperti pendamping spiritual.” “Jangan katakan apa-apa lagi,” Joon memperingatkan.
Namun Ha-na tetap membela Tae-sung. Joon mencium Ha-na. Ha-na mendorong Joon dengan marah.
“Kenapa? Bagaimana perasaanmu? Beritahu aku. Kau akan memberikan jawaban untukku hari ini,” tantang Joon.
“Aku tidak akan memberikan jawaban kepadamu selamanya,” kata Ha-na dengan marah. Dia lalu berbalik dan pergi. “Gadis itu..” Joon akan mengejar namun tidak jadi.
Yoon-hee selesai berbicara dengan dokter. Dia lalu masuk ke kamar In-ha.
In-ha bangkit berdiri saat Yoon-hee masuk. “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,” kata In-ha. Yoon-hee menangis. Dia maju mendatangi In-ha dan memeluknya. In-ha balas memeluk Yoon-hee.
“Apa kau ketakutan?” tanya In-ha.
“Aku pikir terjadi sesuatu denganmu. Aku tidak memberitahumu segalanya. Bahwa aku.. ingin tinggal di sini denganmu. Aku tidak memberitahumu. Aku benar-benar... berpikir bahwa aku tidak akan pernah melihatmu lagi. Aku kira aku akan kehilanganmu.”
Ha-na masuk ke rumah dengan marah. Dia lalu teringat cincin di meja kamar Joon.
Dia terpikir untuk mengambilnya, namun mendengar langkah Joon. Dia berlari dan lagi-lagi menabrak meja. Dengan kesakitan dia masuk ke kamar.
Saat melihat bayangan Joon di depan kamarnya, dia langsung duduk pura-pura membaca. Ternyata Joon tidak masuk ke kamarnya.
Dia lalu mengintip Joon yang duduk di kursi depan kamar.
Joon lalu berdiri dan akan masuk kamarnya, namun tidak jadi. Dia melirik kamar Ha-na. Dia memutuskan akan pergi keluar, namun urung.
Ha-na mengulurkan kepalanya, namun masuk lagi saat Joon tidak jadi keluar dan menoleh ke kamar Ha-na. (kayak Tom and Jerry hehehe..)
Joon kelihatan ragu, namun akhirnya keluar.
Ha-na memastikan keadaan kemudian masuk ke kamar Joon. Dia mengambil cincin di meja dan memandangi cincin itu.
Joon tiba-tiba masuk kamar. Ha-na kaget dan menjatuhkan cincin itu. Cincin jatuh di dekat kaki Joon.
Joon mengambil cincin itu. “Apa ini? Ini jawabanmu?”
Ha-na maju, akan mengambil cincin itu. Joon bergerak cepat dan menghindar.
Joon kemudian memasang cincin itu di jarinya. “Pas di jariku,” katanya.
“Aku tidak akan memakai cincin ini dalam waktu lama. Ini bukan gayaku,” goda Joon. “Tapi, bagaimana kau bisa mendapatkan cincin seukuran jariku?”
Joon menunjukkan jarinya, Ha-na tersenyum. Joon balas tersenyum.
Joon menarik Ha-na dan memeluknya. “Aku menerimanya. Jawabanmu,” kata Joon.
Ha-na merasa senang namun dia gengsi. Dia melepaskan pelukan Joon. “Aku belum memberimu jawaban,” katanya, pura-pura marah.
Dia lalu mengambil tangan Joon dan menarik cincin dari jari Joon.
“Kau akan mengambilnya kembali?” tanya Joon.
Ha-na diam saja. Ha-na membulatkan tekad dan menyatakan perasaannya. “Aku menyukaimu. Aku benar-benar menyukaimu.”
Joon merasa senang, namun sok cool.
Dia mengulurkan jarinya dan meminta Ha-na meletakkan cincin di jarinya.
Ha-na memasang cincin di jari Joon. Mereka kemudian menautkan tangan.
Yoon-hee memegang tangan In-ha yang diperban.
“Hari festival dulu, kau terluka, seperti sekarang.”
Yoon-hee mengusap-usap tangan In-ha.
In-ha meletakkan tangannya di atas tangan Yoon-hee.
Ha-na dan Joon saling berpegangan sambil tersenyum.
==To be continued...==
No comments:
Post a Comment