Ha-na keluar rumah dan mencari Joon sambil bertanya-tanya mengapa Joon ingin menemuinya.
Ha-na menoleh dan melihat Joon di belakangnya.
Joon maju mendekatinya. Ha-na mengira Joon datang untuk membicarakan masalah sewa kamar. Ha-na ketakutan lalu melangkah mundur sambil berkata, “Jangan khawatir. Aku tidak akan pindah ke sana,”. Joon masih terus mendekatinya. “Ada yang salah? Aku sudah bilang aku tidak akan pindah!” kata Ha-na lagi. Namun Joon terus maju dan Ha-na terus mundur.
“Kenapa kau pikir aku tidak suka kau akan pindah?” tanya Joon sambil terus maju.
“Itu..” Ha-na menjawab dengan tergagap. Karena dia berjalan mundur, Ha-na tidak tahu di belakangnya ada kursi. Dia hampir jatuh karena kakinya tersandung kursi di belakangnya, namun Joon memeganginya.
Joon menariknya, dan setelah Ha-na stabil, dia berkata, “Dengarkan dengan baik. Aku hanya akan mengatakannya sekali saja. Aku rasa... aku menyukaimu.” (Suit2.. Pernyataan cinta terselubung.. hihihi..).
Ha-na kaget dan tergagap. “Aku...” Ha-na mundur lagi dan hampir terjatuh lagi, namun Joon sempat menariknya lagi. Jarak wajah mereka sangat dekat.
“Aku...” kata Joon dan Ha-na bersamaan.
Joon mengalah. “Kau dulu,” katanya.
Ha-na menarik tangannya dari pegangan Joon lagi. “Aku... Ini pertama kalinya aku mendengar sesuatu seperti ini,” kata Ha-na.
Joon kaget dan heran. “Apa? Sampai saat ini? Apakah kau sebegitu tidak populernya? (yah, rusak deh suasana romantisnya ckckck)”
Ha-na kesal mendengar perkataan Joon. Ha-na membalas dengan mengatakan bahwa dia sudah melihat bukti kepopuleran Joon. “Masih ingat saat kita pertama kali bertemu? Di ho-ho-hotel...” Ha-na tergagap karena dia sendiri merasa malu. “Kau sedang bersama seorang wanita... Di kamar.. Di atas ranjang..”
Joon teringat. “Hei! Apa kau harus membicarakannya sekarang?” (suasana romantis semakin rusak...). “Lalu apa yang mau kau katakan sebenarnya?” tanya Ha-na lagi, masih kesal.
Joon gantian tergagap. “Aku sudah mengatakannya!”. Ha-na mulai sadar bahwa yang dikatakan Joon serius. Joon bingung akan mengatakan apa, dan akhirnya berkata bahwa Ha-na harus menyiapkan dirinya bila dia akan bekerja di tempat kosnya.
Ha-na merasa curiga mendengar perkataan Joon. Dia mengira Joon melarangnya tinggal di tempat Joon. “Aku sudah bilang kau boleh tinggal di sana!” kata Joon.
“Kau bilang aku harus bersiap-siap!” bantah Ha-na.
“Tepat sekali!” kata Joon lagi.
“Siap-siap untuk apa? Jadi, apa yang mau aku katakan... A-aku...” Tiba-tiba terdengar suara Yoon-hee memanggil Ha-na.
“Apa itu kau?” tanya Yoon-hee.
Ha-na melambaikan tangannya pada Yoon-hee.
“Siapa itu?” tanya Yoon-hee.
Ha-na kebingungan. “Bukan siapa-siapa,” kata Ha-na akhirnya.
Joon tersinggung. “Apa? Bukan siapa-siapa?”
Ha-na langsung pamit pergi. “Aku harus pergi,” pamit Ha-na.
Joon melihat Ha-na pergi dengan pandangan tidak percaya (lagi-lagi jadi playboy gagal.. hahahaha..) “Apa? Harus pergi? Aku baru saja bilang aku menyukainya. Aku memberitahunya agar dia menyiapkan dirinya. Kau harus pergi?”
Ha-na menghampiri Yoon-hee dan langsung mengajaknya pergi.
Yoon-hee bertanya lagi siapa Joon itu dan apa yang dilakukannya di sini.
Ha-na menjawab bahwa Joon adalah tamu resort dan dia tidak tahu sedang apa Joon di sini (hahahaha.. Ga dianggep... hahahaha...).
Joon semakin kesal. “Baiklah. Lakukan apapun yang kau suka. Toh aku tidak merasa rugi.”
Joon kemudian berjalan pergi.
Ha-na dan Yoon-hee masuk ke rumah.
Yoon-hee bertanya apa Ha-na mau makan mie pedas untuk makan malam.
Ha-na setuju dan menawarkan membelikan minyak wijen, namun ternyata Yoon-hee sudah membelinya. Ha-na kemudian berkata bahwa mereka tidak punya mie. Namun Yoon-hee mengingatkan bahwa ada sisa dari masakan hari Minggu. Ha-na lalu berkata bahwa dia sudah menghabiskan sisa mie.
Ha-na akhirnya menyerah mencari-cari alasan untuk keluar dan minta ijin keluar sebentar.
Ha-na keluar dan mencari Joon. “Apa dia sudah pergi?”
Ha-na akhirnya membalikkan badan dan akan kembali ke rumah, namun dia dipanggil oleh In-ha. “Permisi,” kata In-ha.
Ha-na memandangi In-ha.
In-ha mendatangi Ha-na dan akan bertanya. Namun In-ha tertegun ketika melihat Ha-na yang mirip dengan Yoon-hee.
Ha-na juga tertegun melihat In-ha. “Apa kau Profesor Seo In-ha?” tanya Ha-na.
“Apa kau...?” In-ha tidak melanjutkan.
Ha-na memandangi In-ha dengan kaget sekaligus senang.
Joon masuk ke mobil. Di dalam mobil Joon berpikir apa sebaiknya dia menunggu jawaban Ha-na lebih dulu. Joon akhirnya keluar mobil lagi.
Yoon-hee berlari-lari mencari In-ha.
“Apa.. yang kau lakukan di sini?” tanya Yoon-hee.
“Kenapa kau berbohong padaku? Kenapa kau menyembunyikan fakta bahwa kau tidak mempunyai suami lagi?” tanya In-ha.
Yoon-hee terkejut karena In-ha tahu suaminya sudah meninggal. “Maaf,” katanya.
“Kau bilang kau sangat menyesal. Kita berjanji kita tidak akan berkata maaf satu sama lain,” kata In-ha. Yoon-hee meminta maaf lagi.
“Tidak, tidak! Aku tidak menyalahkanmu,” kata In-ha dengan mata berkaca-kaca. “Hanya saja hatiku hancur.”
Yoon-hee mengangkat kepalanya dan memandang ke In-ha.
“Bahwa aku tidak bisa menemukanmu. Bahwa aku tidak bisa bersama denganmu. Sulit bagimu hidup sendirian. Sulit bagimu hidup sendirian tanpa seseorang bersamamu! Meskipun aku tidak bisa melihatmu lagi, suatu kelegaan besar bagiku bahwa kau baik-baik saja. Apa yang bisa kulakukan sekarang?”
Joon mencari-cari Ha-na.
Dia melihat ayahnya dan Yoon-hee sedang berbicara berdua.
Joon belum menyadari bahwa ayahnya ada di situ saat Ha-na tiba-tiba menariknya dan menyeret Joon menjauh sambil menutup mulut Joon.
Joon masih akan menoleh namun pundaknya langsung dipukul oleh Ha-na.
Joon kesakitan. Ha-na menyeret Joon lagi. (hahaha.. kayak orang diculik..)
“Hei! Hei!” teriak Joon karena masih diseret terus oleh Ha-na. Ha-na akhirnya berhenti menyeret Joon. “Ada apa? Siapa pria itu?” tanya Joon.
“Dia..” Ha-na akan menjawab, namun dia sadar tangannya masih menggandeng Joon. Dia langsung melepaskan tangan Joon.
In-ha memegang tangan Yoon-hee. “Jawab aku. Apa yang bisa kulakukan sekarang?”
Yoon-hee terdiam lalu melepaskan genggaman tangannya.
Yoon-hee akhirnya memilih berbohong lagi dengan mengatakan bahwa dia tidak ingat apapun. “Alasan aku berbohong mungkin karena aku merasa menyesal. Karena kau mengingat segalanya, tapi aku tidak mengingat apapun. Seperti yang kamu katakan, sulit bagiku membesarkan putriku seorang diri. Tapi... Aku juga merasa bahagia bersamanya. Hidupku sibuk dan ramai. Aku menduga aku melupakan kenangan-kenangan kita saat aku bergelut dengan hidupku yang sibuk. Aku minta maaf. Aku hanya.. Aku hanya ingin melanjutkan hidup seperti ini.”
Yoon-hee memandang ke In-ha. “Kau hanya sebuah memori bagiku. Tolong biarkan aku menyimpannya dalam hati seperti ini saja. Selamat tinggal.”
Yoon-hee kemudian berjalan meninggalkan In-ha dengan mata berkaca-kaca.
In-ha hanya diam saja melihat Yoon-hee berjalan pergi. Mata In-ha juga berkaca-kaca.
“Cinta pertamanya?”
Ha-na menganggukkan kepalanya.
“Orang yang kau cari di Jepang?” Joon memastikan.
“Aku tidak mengira mereka akan bertemu satu sama lain. Itu sangat romantis,” kata Ha-na, merasa senang Yoon-hee dan In-ha akhirnya bertemu.
Ha-na menirukan cara In-ha mencari Yoon-hee saat dia bertemu Ha-na. “Suaraku bergetar dan mataku penuh air mata,” kata Ha-na dengan semangat. “Orang itu adalah orang yang dirindukan ibuku sepanjang hidupnya.”
“Aku tidak suka cinta pertama orang tuaku. Bagaimana dengan anak-anak mereka?” kata Joon dengan sinis. Ha-na tidak menjawab apa-apa.
“Oh ya. Bagaimana dengan kita?” tanya Joon. “Jawabanmu.”
Ha-na masih diam saja sambil memandangi Joon.
“Jawabanmu!” kata Joon dengan kesal.
“Oh! Soal aku pindah atau tidak?” Ha-na pura-pura tidak mengerti.
“Bukan! Tentang... aku menyukaimu,” kata Joon dengan gugup.
Ha-na akan menjawab namun melihat Yoon-hee berjalan kembali ke rumah.
“Aku akan menemuimu lagi nanti,” kata Ha-na lalu pergi. (hahahaha... lagi2 ditinggal.)
Ha-na akan berlari pergi, namun tangannya ditarik oleh In-ha.
Ha-na melihat ke Joon. “Sekarang,” kata Joon.
Ha-na bingung. “Sebenarnya, aku... Aku tidak merasakan apapun (hahaha.. akhirnya ada juga cewek yang nolak Joon). Aku terus-menerus bertengkar denganmu. Aku tidak tahu apapun tentangmu.”
“Aku tidak tahu apapun tentangmu juga,” kata Joon, merasa kaget karena ditolak Ha-na. Dia lalu melepaskan genggaman tangannya.
“Baiklah. Itu tidak terlalu penting bagiku. Lupakan,” kata Joon lalu berjalan pergi.
In-ha sedang berdiri diam.
Di belakangnya, Joon lewat namun tidak menyadari ada In-ha di sana. Joon terus berjalan.
Ha-na masuk ke rumah dan menanyai Yoon-hee tentang pertemuannya dengan In-ha.
Yoon-hee hanya menjawab “Baik” dengan singkat.
“Siapa dia?” tanya Ha-na pura-pura tidak tahu.
“Dia hanya seorang tamu,” jawab Yoon-hee sambil meneruskan pekerjaannya.
Yoon-hee mengalihkan pembicaraan dengan mengatakan bahwa ada sisa mie.
Ha-na membicarakan In-ha lagi. “Profesor Seo In-ha terlihat keren bila dilihat secara langsung.”
Yoon-hee terkejut karena Ha-na ternyata tahu nama pria yang mencarinya.
“Aku minta maaf, Bu. Aku sudah tahu dari dulu. Aku membaca diarimu sekali. Aku minta maaf,” kata Ha-na dengan menyesal.
Yoon-hee tidak membahas lebih lanjut. “Tidak apa-apa. Aku lapar. Aku akan memasak dengan cepat.” Ha-na merasa penasaran dan bertanya apa dia akan bertemu dengan In-ha lagi mulai sekarang. Jawaban Yoon-hee mengecewakan Ha-na. Yoon-hee berkata bahwa mereka tidak akan bertemu lagi. Dia dan In-ha hanya teman lama. Mereka mungkin akan bertemu lagi saat ada reuni dengan teman-teman yang lain.
“Kenapa? Aku pikir kau merindukannya,” tanya Ha-na. “Bahkan orang yang lamban sepertiku, bisa langsung merasakan perasaanmu saat membaca diari Ibu. Bahwa kau selalu merindukannya sejak dulu.” Yoon-hee tidak menjawab. Dia terus bekerja.
“Sebenarnya, saat aku berada di Jepang, aku berencana menemuinya. Aku ingin dia menemuimu. Tapi pada akhirnya aku tidak bertemu dengannya,” aku Ha-na.
Yoon-hee terkejut mendengar Ha-na berusaha sekeras itu untuk menemui In-ha.
“Bu, aku rasa yang terbaik adalah kau bertemu dengannya lagi. Bukankah dia ke sini karena dia ingin bertemu denganmu?”
“Ha-na, aku tidak menyesal telah meninggalkannya. Itulah kenapa, aku pikir di antara kami tidak akan berhasil. Aku lelah. Mari makan lebih awal.”
Yoon-hee melepaskan celemeknya dan menyiapkan meja makan.
Ha-na tidak berkata apa-apalagi meskipun dia merasa kecewa karena harapannya tidak terwujud.
Yoon-hee duduk di ranjangnya. Dia menutup salah satu matanya lalu menghembuskan nafas.
In-ha baru saja selesai memberikan kuliah.
Ha-na menunggu In-ha. Dia menyapa In-ha saat bertemu In-ha.
Mereka duduk di taman kampus. (bagus banget bunganya... ^^)
Yoon-hee masuk ke rumah dan mencari Ha-na.
Ternyata Ha-na sedang di kamar menyiapkan barang-barangnya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Yoon-hee.
“Aku akan pergi ke Seoul,” jawab Ha-na.
Yoon-hee heran karena dia pikir Ha-na belum mendapatkan kamar kos di Seoul.
Ha-na bercerita dia mendapatkan pekerjaan untuk merawat taman di Seoul, karena itu dia akan berangkat lebih awal ke Seoul. “Nanti aku tunjukkan hasil kerjaku,” kata Ha-na dengan bangga.
“Aku pikir bila aku tidak ada di sini, kau bisa berpikir lebih jernih dan bebas,” lanjut Ha-na sambil meneruskan melipat baju. Yoon-hee tidak berkata apa-apa.
Ha-na sampai di cafe Sun-ho. Dia disambut oleh Jo Soo, In-sung, dan sang pengarah gaya.
Jo Soo merasa senang saat Ha-na membawa bunga-bunga. In-sung dengan sinis menyuruh Ha-na segera memindahkan bunga-bunga itu karena mengganggu jalan masuk.
“Sweetie, apa kau pindah ke sini?” tanya si pengarah gaya.
Ha-na memberi salam dan memberitahu bahwa dia akan tinggal di sana sementara waktu.
Sun-ho baru saja keluar dan melihat Ha-na. Dia lalu menyapa Ha-na. “Selamat datang,” kata Sun-ho sambil merentangkan tangannya dan mendatangi Ha-na.
Jo Soo, In-sung, dan si pengarah gaya melihat ke arah Ha-na yang terlihat gembira disambut hangat oleh Sun-ho.
Sun-ho membantu mengangkat barang-barang Ha-na ke kamar.
Ha-na senang melihat kamarnya yang bagus.
Sun-ho bercerita bahwa dia dulu memakai kamar itu saat mendapat tugas jaga malam. (di rumah sakit mungkin ya?)
Ha-na merasa sungkan karena dia mendapat kamar sebagus itu.
Sun-ho berkata Ha-na tidak perlu sungkan. Bila Ha-na mau, dia bisa menggunakan kamar itu selamanya.
“Tidak perlu. Aku akan mendapat kamar kos tiga minggu lagi. Sampai saat itu, aku akan tinggal sementara di sini,” kata Ha-na.
Sun-ho mengenalkan Ha-na pada yang lain. “Perkenalkan, ini Jung Ha-na. Mulai hari ini dia akan bekerja sebagai tukang kebun.”
Semua heran mendengar Ha-na adalah tukang kebun, namun Ha-na hanya tersenyum.
“Perkenalkan dia adalah Jo Soo. Marganya Jo. Namanya adalah Soo. Jo Soo (juga berarti asisten).”
“Jadi namamu Jo Soo? Aku sudah menduga-duga kenapa Joon tetap memanggilmu Jo Soo (asisten),” kata Ha-na.
“Ah, itu karena Joon orang yang agak...” Jo Soo akan menyebut nama Joon dengan tidak hormat, namun tersadar saat yang lain tertawa. “Dia sedikit special,” ubah Jo Soo. (hahahaha..)
“Nama saudar-saudaranya adalah Hwa, Soo, Geum,” lanjut Sun-ho.
“Jadi, Jo Hwa (harmoni), Jo Soo (asisten), Jo Geum (kecil)? Aku paling suka nama Jo Soo,” kata Ha-na menghibur.
“Ah, aku tidak terlalu suka,” kata Jo Soo malu. “”Oh ya, apa kau akan tinggal bersama kami?”
“Sampai aku bisa pindah ke apartemen lain,” jawab Ha-na.
“Akan sedikit ramai di sini,” keluh In Sung dengan suara kecil.
Sun-ho melanjutkan perkenalannya. “Dia yang paling perengek di sini. Pekerjaannya macam-macam di cafe. In Sung.”
“Kau harus membantu sedikit bila di cafe sibu,” kata In Sung pada Ha-na.
“Baiklah,” jawab Ha-na semangat.
“Dan ini..” Sun-ho akan memperkenalkan pengarah gaya. Namun pengarah gaya mengeluarkan botol dari saku belakangnya dan menyemprotkannya ke muka Ha-na.
“Diamlah. Sweetie, aku tidak bisa diam saja melihat wajahmu. Jangan hanya menyiram bunga-bunga. Ayo rawat mukamu sedikit.” Dia lalu menyemprot muka Ha-na lagi.
Pengarah gaya sedang menyanyi dengan menggunakan botol sebagai mike-nya, sedangkan In Sung memainkan piano di sampingnya.
Di luar, Jo Soo membantu Ha-na mengatur tanah untuk menanam bunga. Jo Soo melihat tingkah In Sung dan si pengarah gaya. “Mereka selalu melakukan hal-hal yang menyenangkan.”
Ha-na menoleh dan berdiri. Ha-na lalu menanyakan keberadaan Joon.
Jo Soo menjawab bahwa Joon ada pekerjaan di Paris dan membuat semua repot.
“Kapan dia kembali?” tanya Ha-na.
“Aku tidak tahu. Apa kau khawatir dia akan menyulitkanmu?” tanya Jo Soo.
Ha-na hanya tersenyum. Jo Soo lalu bertanya apa arti Ha-na bagi Joon. Dia kemudian mengingatkan Ha-na agar jangan sampai jatuh cinta pada Joon karena Ha-na akan terluka.
Ha-na hanya tersenyum berterima kasih.
Sun-ho keluar dan bertanya apa Ha-na akan bekerja sebelum menandatangani kontrak.
“Kontrak?” tanya Ha-na heran.
Ha-na menandatangai kontrak dan bertanya apa Sun-ho selalu ingin tamannya diperindah.
“Ini hanya semacam investasi. Mungkin dia yang menanamkan ide itu di kepalaku,” jawab Sun-ho.
“Siapa?” tanya Ha-na.
Sun-ho lalu memberitahu bahwa gedung itu sebenarnya milik Joon dan dia hanya penyewa.
“Apa?! Kau seharusnya memberitahuku lebih awal,” kata Ha-na kaget. Dia lalu akan mengambil kertas kontraknya, namun Sun-ho sudah mengambil lebih dulu.
“Apa yang salah dengan kenyataan Joon yang punya tempat ini?” tanya Sun-ho.
Ha-na terlihat khawatir. “Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Joon lagi?” tanya Sun-ho dengan perhatian. “Joon bilang dia akan membujukmu. Apa ada yang terjadi?”
Ha-na menggelengkan kepalanya. “Dia hanya berbicara tentang hal yang konyol.”
Sun-ho memandangi Ha-na. “Bukan hal yang konyol,” kata Ha-na mengoreksi.
“Menarik,” kata Sun-ho dengan senang. “Bagaimana pun, aku pikir Joon ingin membuat taman. Tempat ini diselamatkannya saat dia masih kecil. Aku tidak tahu saat itu dia berumur berapa... Sampai orang tuanya memutuskan berpisah. Saat itu, taman ini dipenuhi bunga-bunga berwarna putih. Karena itulah tempat ini disebut ‘Putih’. Pak Seo yang menamakannya,” cerita Sun-ho. “Ayah Joon,” lanjut Sun-ho saat Ha-na merasa heran. “Orang tuaku dan orang tua Joon adalah teman akrab. Itulah kenapa aku berteman dengan Joon.”
“Oh, begitu. Aku paham,” kata Ha-na.
Sun-ho mengantarkan Ha-na berkeliling.
Dia menunjukkan dapur lebih dulu dan meminta Ha-na berhati-hati karena saluran air di sana lemah. Jadi bila kran di dapur dinyalakan, air di kamar mandi akan menjadi dingin.
Mereka kemudian berkeliling lagi.
Sun-ho merasa ada yang belum dia sampaikan namun dia tidak bisa mengingatnya. Setelah memberikan kunci agar Ha-na mudah bekerja di taman, dia pamit praktek.
Ha-na masuk ke kamar. Dia malas menata barang-barangnya dan berbaring di ranjang.
Tiba-tiba dia mengingat perkataan Joon tentang Joon yang berkata dia menyukai Ha-na tapi itu bukan hal yang penting.
Ha-na langsung bangun dari ranjang. “Dia bilang itu bukan hal penting. Kenapa aku harus merasa rugi?”
Dia melihat pintu penghubung di kamarnya dan mendatangi pintu itu.
Sun-ho masuk ke kamar dan berusaha mengingat-ingat apa yang lupa dia sampaikan ke Ha-na.
Ha-na membuka pintu penghubung.
“Ah, aku ingat apa yang aku lupa sampaikan! Joon akan pindah ke samping kamar Ha-na. Aku lupa bilang padanya,” kata Sun-ho.
Ha-na masuk ke kamar Joon dan melihat-lihat.
Dia melihat tumpukan di sofa dan memegannya. “Warnanya aneh,” kata Ha-na.
Dia mengangkat kain itu dan membuka lipatannya. Ternyata itu adalah celana dalam (hahahahaha...)
Ha-na kaget dan melemparnya. Joon yang masuk ke kamarnya menangkap celana dalam yang dilempar Ha-na.
Ha-na menoleh dan kaget melihat Joon. Joon juga kaget melihat Ha-na.
Adik Sun-ho, Lee Mi-ho mengikuti Joon dari belakang dan bertanya siapa Ha-na.
Ha-na menoleh dan melihat foto Mi-ho berukuran besar di dinding.
Joon mengusir Ha-na keluar.
Ha-na langsung keluar kamar.
Joon juga keluar dan menyuruh Mi-ho jangan mengikutinya.
Ha-na buru-buru menuju ruang praktek Sun-ho hingga hampir menabrak Jo Soo dan pengarah gaya yang sedang membawa barang-barang Joon.
Ha-na langsung masuk tanpa mengetuk pintu.
“Ah, Ha-na ada yang lupa aku...” kata Sun-ho namun terpotong saat Joon juga masuk ke ruang prakteknya dari arah lain.
“Apa yang dia lakukan di sini?” tanya mereka ke Sun-ho bersamaan sambil menunjuk satu sama lain.
“Jadi kau sudah tahu...” kata Sun-ho dengan gembira pada Ha-na.
Joon melihat ke Ha-na lalu menyeretnya keluar dan mendorongnya ke gudang.
Sun-ho melihat mereka dan berkata, “Ini menyenangkan,” dengan nada gembira.
Joon menyeret Ha-na ke gudang.
“Jadi, kau sekarang pindah ke sini? Agar kau bisa bekerja di sini?” tanya Joon.
“Aku tidak tahu kau tinggal di sini. Aku tidak akan mau tinggal di sini kalau aku tahu,” jawab Ha-na. “Keluarlah kalau begitu,” kata Joon dengan ketus.
“Kenapa aku harus keluar?” bantah Ha-na. “Aku di sini untuk bekerja.”
Joon menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau ini lamban atau kurang hati-hati? Kau ingin tinggal dengan pria yang kau tolak?”
“Siapa yang menolak siapa?” tanya Ha-na, tidak mengerti.
“Kau yang menolakku. Atau kau berpikir ulang?” kata Joon dengan percaya diri.
Ha-na memelototi Joon.
“Pergilah,” kata Joon lalu membalikkan badan, akan keluar.
“Kau bilang itu bukan apa-apa. Itu benar-benar bukan apa-apa. Kau bahkan punya foto wanita lain di kamarmu. Kenapa kau bermain-main denganku seperti itu? Dan kau marah padaku! Kau bahkan berlibur dengan seorang wanita selama empat hari,” kata Ha-na.
“Ada apa? Kau cemburu sekarang?” tanya Joon curiga.
“Tidak! Bagaimana pun, aku tidak akan keluar. Aku bahkan sudah menandatangani kontrak.”
Joon lalu mengeluarkan dompet dan berkata akan membayar Ha-na, namun tangan Joon ditahan Ha-na. “Kau benar-benar jahat. Kenapa kau begitu jahat?” tanya Ha-na.
“Kau lebih buruk,” balas Joon. Dia lalu mengangkat tangan Ha-na. “Kau! Berhentilah berlaku seakan-akan kau polos dan tidak tahu apapun. Aku tidak suka tingkah lakumu itu. Kalau kau mau tinggal di sini, kau harus menyiapkan dirimu. Atau kau bisa keluar dari sini.”
Joon melepaskan tangan Ha-na. “Kau tidak bisa melakukannya kan?” Joon lalu keluar.
Ha-na menyusul Joon. Di belakang mereka, Sun-ho juga menyusul.
“Joon!” panggil Sun-ho.
Joon berhenti dan menoleh.
“Apa kau sudah selesai?” tanya Sun-ho. Sun-ho lalu menoleh ke Ha-na dan berkata, “Tidak apa-apa, Ha-na. Joon akan pergi.”
“Apa?” Joon kaget.
“Kau bilang kau akan keluar kalau Ha-na pindah kemari. Kau juga bilang kau akan pindah ke hotel kalau perlu.”
“Aku tidak pernah mengatakannya,” elak Joon. “Aku akan tinggal di sini. Kau suruh dia keluar.”
“Aku tidak akan keluar!” kata Ha-na.
“Kalau begitu kalian harus bekerja sama dan hidup bersama,” kata Sun-ho menengahi.
“Apa?” Ha-na kaget. Mi-ho mendatangi mereka dan mendengar perkataan Sun-ho. “Siapa tinggal dengan siapa?” tanya Mi-ho.
Mi-ho menggandeng tangan Joon. Ha-na melirik tangan Mi-ho.
Joon kesal lalu menyuruh Sun-ho keluar Ha-na kemudian Joon pergi diikuti Mi-ho.
Sun-ho menenangkan Ha-na dan berkata bahwa Mi-ho adiknya dan Ha-na tidak perlu khawatir.
Sun-ho lalu berkata mereka akan mengadakan pesta selamat datang dan meminta Ha-na bersemangat. Ha-na berusaha semangat dan menepuk-nepukkan tangannya.
Tae-seong masuk ke kantor dan mengenakan jasnya.
Dia kemudian duduk di meja kerjanya dan membuka laptop.
Di meja ada plang bertuliskan ‘Direktur Resort, Han Tae-seong’ (dia direktur?? Bukan pekerja biasa??)
In-ha mendatangi Yoon-hee di resort sambil membawa bunga Baby’s Breath.
Mereka kemudian menuju jembatan untuk berbicara.
Di jembatan Yoon-hee berhenti. In-ha yang awalnya berjalan di belakang Yoon-hee maju ke hadapan Yoon-hee.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Yoon-hee tanpa menatap In-ha.
“Aku tidak akan lari lagi. Aku menyesal sepanjang hidupku karena melepaskanmu. Aku tidak akan melepaskanmu lagi. Tidak apa-apa bila kau melupakanku. Aku merindukanmu sudah cukup bagi kita berdua. Aku tidak akan memintamu untuk langsung menerimaku. Aku akan berjuang keras untuk kita berdua. Jadi, tolong berikan aku kesempatan satu kali lagi untuk mencintaimu. Aku mohon,” pinta In-ha. Yoon-hee memandang In-ha dengan sedih. In-ha maju sedikit dan memberikan bunga yang dibawanya.
Ha-na, Sun-ho, Jo Soo, dan In Sung menyiapkan makanan untuk pesta selamat datang.
Mereka kemudian membagi-bagikan makanan itu untuk para pengunjung cafe.
Mi-ho sedang menari di sebuah club.
Joon merasa bosan dan hanyak duduk. Mi-ho mengajaknya menari, namun Joon tidak mau.
Mi-ho akhirnya mendatangi Joon dan menari-nari depannya. (sok imut banget...)
Joon tersenyum kecil lalu mengambil ponselnya dan memotret Mi-ho.
Mi-ho mengambil ponsel itu dan dengan senang melihat hasil jepretan Joon. “Jangan pernah mengambil foto gadis-gadis lain, kecuali model atau aku (udah dilanggar sama Joon),” kata Mi-ho. “Kau model juga,” jawab Joon.
“Aku bukan model!” bantah Mi-ho.
Joon tidak berkata apa-apa lagi.
“Gadis itu dia kan?” tanya Mi-ho. Joon menoleh.
“Gadis yang diminta oleh klien konyol itu. Karena itukah kau sangat membencinya?” lanjut Mi-ho. Joon diam saja.
“Aku ternyata benar. Aku sudah tahu. Kau tidak pernah mengambil foto seseorang kecuali kau menyukainya. Terutama seseorang yang amatir seperti itu. Apa yang dipikirkan oleh kakakku? Dia tidak menyukai gadis SMA seperti itu kan? Tentu saja dia bisa saja suka... Seandainya saja seleranya setinggi kau...” kata Mi-ho berbicara sendiri.
Joon langsung memotong perkataan Mi-ho dan menyuruh Mi-ho mengambil fotonya di kamar Joon (ternyata bukan Joon yang memasang foto itu.. Syukur deh.. hehehe..).
Mi-ho menolak menurunkan fotonya.
“Kalau begitu, aku akan membuangnya,” ancam Joon.
Mi-ho mulai merayu Joon. “Belahan jiwamu adalah aku (kata siapa?), sejak dulu selalu aku. Mereka bilang kau adalah orang pertama di luar keluargaku yang melihatku setelah aku dilahirkan. Kau adalah belahan jiwaku.”
“Apa kau seekor bebek?” tanya Joon.
“Kenapa dengan bebek?”
“Lupakan saja,” katanya pada Mi-ho. Joon lalu berkata pelan bahwa tidak ada yang namanya belahan jiwa.
“Kau tahu nama panggilanku kan?” tanya Joon pada Mi-ho.
“Apa? Orang yang Menyebalkan? Seo yang Lambat? Seo yang kejam?” (hahahaha.. bahkan Mi-ho pun bilang Joon menyebalkan.. hahahahaha..)
“Yang mana?” Mi-ho akhirnya berhenti menggoda Joon.
“Tiga detik,” kata Joon memberikan petunjuk.
“Ah! Bahwa kau bisa memilih siapapun dalam waktu tiga detik!” Mi-ho mengerti.
“Apakah itu takdir?” Joon berbicara sendiri.
Mi-ho memanfaatkan dan maju, ingin mencium Joon.
Namun Joon sudah tahu taktiknya dan menghalangi Mi-ho dengan tangannya.
Mi-ho berkata dia ingin mencium agar tahu apakah dia dan Joon ditakdirkan bersama.
Joon menjawab singkat bahwa dia tidak percaya takdir kemudian berjalan pergi.
Joon pulang ke rumah dan menggeleng-gelengkan kepala melihat Ha-na, Sun-ho, Jo Soo, dan In Sung sedang bermain kata. Jo Soo dan In Sung diberi dua pilihan kata, dan mereka harus mengatakan kata yang sama.
Jo Soo dan In Sung tidak pernah menyebutkan kata yang sama sehingga mereka diberi hukuman minum bir. Saat tebak kata terakhir, In Sung yang lagi-lagi kalah tidak kuat minum lagi. Ha-na menawarkan minum bagian In Sung. In Sung dengan senang hati memberikan minumannya.
Joon melihat Ha-na yang minum dan menggeleng-gelengkan kepala tidak setuju.
Joon kemudian akan naik ke atas.
Permainan berganti ke pasangan Ha-na dengan Sun-ho. Joon mengurungkan niatnya dan mendengarkan permainan itu. Dia ikut serta tapi kemudian merasa konyol. Dia akan naik, namun saat Ha-na dihukum minum dengan kadar alkohol tinggi, Joon mengurungkan niatnya dan mengambil gelas di tangan Ha-na lalu meminumnya.
Ha-na terkejut saat Joon mengambil gelasnya. “Berhentilah minum,” kata Joon setelah selesai meminum bir. Semua melihat Joon dengan pandangan terkejut.
“Ada apa dengan dia?” tanya Ha-na dengan bingung.
Yoon-hee duduk di green house sambil memandangi bunga pemberian In-ha.
Ponselnya berbunyi. Dia membaca pesan dari In-ha. In-ha melaporkan bahwa dia sudah sampai rumah dan mengingatkan Yoon-hee agar menjaga makanannya meskipun dia tinggal sendiri. In-ha juga mengirimkan satu rekaman, dia meminta Yoon-hee mendengarnya.
Rekaman itu adalah rekaman yang dibuat saat dia wamil. Teman-teman In-ha menggoda In-ha dengan menyuruh In-ha merekam apa yang ingin dia sampaikan pada Yoon-hee.
In-ha dengan malu-malu mengatakan bahwa dia rindu pada Yoon-hee. In-ha berharap Yoon-hee segera pulang sehingga dia bisa memberikan rekaman itu. Yoon-hee mulai menangis.
Tangisannya semakin keras saat In-ha dan teman-temannya menyanyikan lagu Love Rain bersama-sama.
Joon sedang membaca buku koleksinya. Dia mengambil lagi buku dari rak lalu penasaran Ha-na sudah kembali ke kamar atau belum. Dia melihat kamar Ha-na melalui rak buku yang membatasi kamar mereka. Namun ranjang Ha-na masih kosong.
Joon memutuskan mencari Ha-na di luar. Dia keluar kamar dan menoleh. Ternyata Ha-na duduk di kursi di depan kamar mereka. Joon lalu mengambil selimut dan menyelimuti Ha-na.
Dia akan beranjak pergi, namun Ha-na terbangun dan menariknya sehingga dia jatuh di kursi Ha-na. Joon bangkit dengan kesal. Namun Ha-na yang dalam kondisi mabuk menariknya lagi, dan dia terjatuh lagi.
Ha-na mengoceh bahwa ada sesuatu yang mau dia sampaikan pada Joon dan dia harus menyampaikannya sekarang. Joon akan bangkit berdiri tapi tidak bisa.
“Minta maaf. Kata-katamu sangat melukaiku,” kata Ha-na.
“Kata-kata yang mana?” tanya Joon.
“Kata-katamu yang ‘berhenti berpura-pura polos’.”
Joon menghembuskan nafas kesal.
Ha-na menyandarkan kepalanya di pundak Joon. “Aku tidak berpura-pura polos. Aku benar-benar polos.” Ha-na mengangkat kepalanya dan menunjuk-nunjuk wajah Joon.
Ha-na kemudian mendata bukti kepolosannya : tidak pernah punya pacar, hanya tertarik pada anak lelaki bukan pria, tidak pernah dicium oleh siapa pun. Ha-na kemudian tertawa-tawa. (mabuk beneran deh..). Ha-na lalu berkata bahwa dia berbeda dengan Joon. Karena mabuk, Ha-na berbicara dengan Joon menggunakan bahasa gaul.
Ha-na kemudian menyebutkan kesempurnaan Joon : punya wajah tampan, penghasilan besar, dan playboy. Itu membuat Ha-na takut.
“Takut menyukaiku?” tanya Joon.
“Ya. Jadi berhentilah bilang aku menolakmu,” kata Ha-na mulai mengantuk.
Ha-na lalu berdiri, namun tidak kuat dan jatuh di pangkuan Joon. Ha-na kemudian tertidur.
Joon melihat Ha-na yang tertidur dan mencium Ha-na dengan cepat.
Joon lalu menutup mulutnya, merasa malu.
Tiba-tiba Ha-na membuka matanya. Joon bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Ha-na lalu mendekatkan wajahnya. Joon mengira Ha-na akan menciumya, Joon juga maju mendekat. Namun ternyata Ha-na tertidur lagi. (hahahahaha..)
Joon kecewa tapi lalu menahan tawa senangnya.
Hari sudah pagi. Joon bangun. Lalu dia teringat kejadian malam kemarin dan mulai tertawa-tawa sendiri. Joon lalu berkata, “Aku harus membaca di pagi hari” dan mengambil buku di rak. Namun dia ternyata melihat ke dalam kamar Ha-na. Tapi Ha-na tidak ada di ranjangnya dan ranjangnya sudah rapi.
Joon lalu keluar dan mencari Ha-na.
Ha-na ternyata sudah bekerja memotong kayu di taman. Dia memanggil Ha-na, namun Ha-na mengacuhkannya.
“Kenapa? Kau merasa malu karena kita berciuman?” tanya Joon.
“Apa? Berciuman?” Ha-na tidak ingat kejadian semalam.
Joon merasa heran Ha-na tidak ingat. Dia lalu membalikkan cerita dengan mengatakan bahwa Ha-na dulu yang menciumnya.
“Itu tidak benar!” bantah Ha-na.
“Jadi kau ingat?” Joon senang karena jebakannya berhasil.
Ha-na merasa malu lalu melanjutkan pekerjaannya. Joon tertawa melihat tingkah laku Ha-na.
Ha-na sedang bekerja di taman. Di dekatnya Joon dengan tenang makan sarapan.
Ha-na merasa kesal melihat kelakuan Joon lalu menunduk melanjutkan pekerjaannya.
Joon bangkit berdiri dan mengambil kamera polaroidnya, kemudian memotret Ha-na.
Joon kemudian berjongkok di samping Ha-na dan berkata bahwa Ha-na sebenarnya tidak perlu bekerja karena dia tidak benar-benar ingin Ha-na bekerja untuknya. Seleranya dan Ha-na berbeda jauh. Ha-na merasa kesal dan menjawab bahwa dia akan tetap bekerja untuk Joon, namun dia akan mengacaukan taman Joon.
Joon memotret Ha-na lagi. “Wajah marah,” goda Joon.
Ha-na menyuruh Joon berhenti memotretnya.
“Apa aku orang pertama yang memotretmu? Aku orang pertama yang bilang aku suka padamu, aku orang pertama yang menciummu. Aku orang pertama bagimu dalam segala hal!” Joon semakin menggoda Ha-na.
“Aku bilang aku tidak ingat!” Ha-na berkeras.
Joon meneruskan dengan berkata bahwa Ha-na akan sulit mencari pria lain, karena Joon terlalu sempurna. Dia lalu melihat foto hasil jepretannya dan berkata, “Kau cantik.”
Ha-na merasa senang.
“Aku tidak akan melupakan maupun menyesalinya,” kata Joon lagi lalu bangkit berdiri.
Sebelum pergi, Joon mengajak Ha-na pergi makan malam, dan dengan arogan menyuruh Ha-na menunggu teleponnya.
Ha-na akan menolak namun di saat bersamaan Sun-ho datang dan bertanya bagaimana tidur Ha-na di malam pertama di Taman Putih.
Joon menjawab untuk Ha-na dengan mengatakan bahwa Ha-na tidak ingat apapun.
Ha-na lalu berpura-pura mengatakan bahwa dia terlalu banyak minum sehingga kepalanya sakit.
Yoon-hee memeriksakan matanya di dokter mata. Setelah selesai memeriksa dokter mengatakan bahwa penyakit Yoon-hee sekarang adalah efek penyakit sebelumnya. Namun pada kasus Yoon-hee, penyakitnya terlalu awal.
Yoon-hee keluar rumah sakit. Dia merasa syok. Dia akan menelepon In-ha, namun membatalkan niatnya.
Yoon-hee kemudian berjalan pulang.
In-ha ternyata mengikuti Yoon-hee dari belakang.
In-ha akhirnya memutuskan menyusul Yoon-hee. Dia lalu berdiri di hadapan Yoon-hee dan tersenyum.
“In-ha ssi...”
In-ha mengajak Yoon-hee ke rumahnya.
Yoon-hee melihat-lihat lukisan-lukisan di rumah In-ha.
“Ini tempat khas pria. Mungkin sedikit berantakan. Tapi, aku membersihkannya setiap hari,” kata In-ha bercanda.
Yoon-hee tersenyum kecil.
Hye-jung mendatangi Joon di studio. Hye-jung juga mengajak rekan bisnisnya dari luar negeri. (logat Inggris Hye-jung maksa, masih lebih bagus Joon)
Rekan bisnis Hye-jung memuji hasil kerja Joon dan berharap mereka bisa bekerja sama untuk selanjutnya.
In-ha sedang memasak, sementara Yoon-hee duduk menunggu di meja makan.
Yoon-hee diam saja sambil melamun. In-ha bertanya apa yang Yoon-hee pikirkan, namun Yoon-hee tidak mau bilang.
In-ha kemudian menyalakan musik.
Yoon-hee berkata bahwa dia merindukan teman-teman mereka : Chang-mo, Dong-wook, Hye-jung, dan In-sook. Yoon-hee bertanya-tanya apa mereka masih sama seperti dulu.
In-ha mengajak Yoon-hee untuk ikut reuni bersamanya kapan-kapan. “Waktu berlalu. Sejalan dengan waktu, beberapa orang menjadi lebih buruk, beberapa masih sama, beberapa orang lebih baik. Aku rasa aku tidak menjadi lebih baik. Karena kau tidak ada di sana,” kata In-ha sambil terus memasak. Yoon-hee terlihat sedih. Dia lalu bangkit berdiri dan berniat membantu In-ha, namun dilarang oleh In-ha karena Yoon-hee adalah tamunya untuk hari ini.
“Hari ini hari yang sulit bagiku. Terima kasih telah mengundangku,” kata Yoon-hee sambil tersenyum. In-ha balas tersenyum, merasa bahagia.
Ha-na sedang bekerja menata bunga-bunga di green house saat ponselnya bordering. Dia melihat nama Joon dan ragu-ragu antara mengangkat atau tidak. Tapi akhirnya Ha-na mengangkat telepon Joon.
“Halo?”
“Jam 7,” kata Joon langsung.
“Apa?” Ha-na tidak mengerti.
“Datanglah jam 7,” kata Joon lagi dengan singkat.
“Maaf..” Ha-na masih akan bicara namun hubungan telepon langsung diputus oleh Joon. (kasar banget ni anak.. Padahal In-ha kalem banget pas muda)
Joon menutup telepon lalu tersenyum senang. Dia kemudian berjalan dan akan melanjutkan pekerjaannya saat dia mendengar suara Hye-jung sedang ditelepon oleh seseorang.
Hye-jung merasa terganggu karena orang di seberang telepon terus-menerus meneleponnya.
“Bersikap baiklah pada istrimu. Apa yang sekarang kau miliki yang bisa kau berikan padaku? Semua sudah usai! Selamat tinggal!” Hye-jung lalu menelepon dan membalikkan badan.
Dia terkejut karena Joon berdiri di belakangnya. Hye-jung ketakutan karena Joon mendengar apa yang dia ucapkan. Joon menatap ibunya dengan marah, namun tidak mengatakan apa-apa. Dia membuang muka dan berjalan terus.
Ha-na berlari-lari pulang. Di kamar dia mencari baju yang cocok untuk pergi dengan Joon. Namun tidak ada baju yang cocok.
Dia melihat foto-foto hasil jepretan Joon kapan hari yang digantungnya di atas cermin rias.
Dia lalu mendapat ide.
Joon sedang memotret seorang model.
Di dekatnya Hye-jung dan rekan-rekan bisnisnya sedang mengamati cara kerja Joon.
Semua orang bertepuk tangan saat sesi pemotretan selesai.
Joon bersalaman dengan rekan bisnisnya.
Hye-jung maju dan akan memberi selamat juga. Namun Joon mengacuhkannya dan berjalan terus. Hye-jung menghembuskan nafas. Dia lalu meminta ijin pada rekan bisnisnya dan menyusul Joon.
Hye-jung menyusul Joon dan meminta Joon makan malam dengannya.
“Aku tidak punya sesuatu yang harus aku katakan padamu. Ini hidupmu. Lakukan apapun yang kau suka,” kata Joon dengan ketus lalu masuk ke lift.
Hye-jung menatap Joon dengan marah. “Baiklah, pergilah. Bagaimana kau bisa menjadi seperti ayahmu? Keras kepala seperti ayahmu.” Hye-jung lalu berlalu pergi.
Joon menghembuskan nafas kesal. Pintu lift menutup, namun Joon membukanya lagi. Dia lalu keluar lift.
Ha-na menunggu Joon sambil harap-harap cemas.
Dia khawatir penampilannya akan terlihat aneh.
Hye-jung masuk ke sebuah ruangan seminar. Dia lalu duduk.
Joon menyusul masuk dan meminta Hye-jung cepat-cepat memberitahu apa yang mau Hye-jung sampaikan karena dia ada janji.
Hye-jung menyuruh Joon duduk.
Joon duduk di deretan kursi di depan ibunya.
“Semua sudah selesai. Pria-pria lain tidak ada artinya bagiku. Aku juga tidak tahu dia sudah menikah.”
“Aku tidak perlu tahu tentang hal itu. Aku hanya tidak mengerti. Kau punya lebih banyak dari Ayah. Kau punya pekerjaanmu,” kata Joon dengan menahan marah.
“Aku tidak punya apapun.” Hye-jung lalu menghembuskan nafas lelah. “Kembalilah ke rumah. Tetaplah di sampingku.”
“Aku sudah capek dengan hal ini,” kata Joon dengan sinis.
Hye-jung mulai marah. “Bagaimana mungkin kau bisa melakukan hal ini padaku? Apa kau tahu apa yang Ayahmu lakukan? Ayahmu... sedang menemui cinta pertama yang menghantuiku sepanjang hidup!” Joon terlihat kaget.
“Kalian semua sama. Kau dan ayahmu. Kalau aku tidak hamil dirimu, pernikahan yang tidak bahagia ini tidak akan pernah dimulai (kau menyalahkan anak?!).”
Joon sudah tidak tahan karena pada akhirnya selalu dia yang dipersalahkan. Dia lalu bangkit berdiri dan berjalan keluar. Joon menuju lift. Dia mengusap-usap kepalanya dengan kesal. (kayaknya nahan tangis juga..)
Ha-na sudah lama menunggu Joon. Dia duduk sambil mengetuk-ngetukkan kakinya dengan bosan.
Dia baru saja akan menelepon Joon saat dia melihat sosok Joon dan mendatanginya. Ha-na akan marah, namun dia melihat muka Joon yang kusut.
“Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Ha-na.
Ha-na dan Joon duduk dalam diam. Ha-na akhirnya tidak tahan dan bertanya lagi pada Joon apa ada yang terjadi.
“Rambutmu kau urai,” kata Joon tanpa memandang Ha-na.
“Ah ini...” Ha-na merasa malu. “Aku bukannya sengaja. Hanya... Hanya... Hanya...” Ha-na tidak bisa berkata apa-apa lagi dan hanya tersenyum salah tingkah.
Joon menoleh. “Kau kelihatan cantik,” kata Joon.
Ha-na hanya tersenyum senang.
“Apa kau lapar? Kau pasti lapar,” kata Joon lagi.
“Tidak. Aku tidak lapar,” kata Ha-na. Dia bingung karena Joon jadi tenang dan pendiam.
“Kau bilang kau berharap ibumu dan cinta pertamanya akan bertemu lagi kan? Aku.. juga berharap orang tuaku bersama lagi,” kata Joon dengan mata menerawang.
“Dan?” tanya Ha-na penasaran.
“Aku hanya berharap. Aku hanya berharap.”
Ha-na bingung karena Joon terlihat sedih.
Joon lalu meminta Ha-na menceritakan cerita lucu.
Ha-na lalu memberi tebakan lucu dan mereka tertawa.
Ha-na berpikir lagi. Dia lalu menoleh ke Joon. Tiba-tiba wajah Joon sudah dekat dengannya dan Joon menciumnya dengan cepat.
“Jangan lupa yang kali ini,” kata Joon.
Ha-na masih terkaget-kaget.
“Aku benar-benar akan menciummu,” kata Joon.
Ha-na masih diam. “Kau bisa mundur bila kau mau,” kata Joon lagi. Joon mulai menghitung. “Satu, dua, tiga.”
Ha-na tidak bergerak dan mereka pun berciuman.
Air mancur di belakang mereka tiba-tiba menyembur. Ha-na menjauh dan berlari karena takut basah. Joon juga berdiri dan menarik tangan Ha-na, kemudian menciumnya lagi.
Tas yang dipegang Ha-na terjatuh ke bawah.
To be continued...
No comments:
Post a Comment