Sinopsis Love Rain episode 7
Joon menyeret Ha-na keluar. Ha-na meronta-ronta karena tangannya sakit dicengkeram Joon.
Jo Soo dan In-sung (mahasiswa musik yang kerja paruh waktu sebagai pianis di kafe yang satu gedung sama Seo Joon ― diperankan sama Shin Ji-ho) melihat kejadian itu dari belakang.
Joon melepaskan tangan Ha-na dengan kasar dan bertanya kenapa Ha-na ada di rumah itu. Joon merasa GR dan berpikir Ha-na ke sana untuk menemuinya. Dia mengejek Ha-na yang bilang bahwa dia tidak mau melihat wajah Joon bahkan untuk satu detik, tapi sekarang Ha-na justru sampai melakukan penyelidikan untuk mencari studio Joon.
Ha-na kesal karena Joon mengira dia ke sana untuk mencari Joon. Dia mengacungkan flyer bergambar dirinya. Joon mengambil flyer dari tangan Ha-na dan terkejut karena dia merasa tidak pernah mencetak flyer itu. Ha-na tidak percaya Joon tidak tahu tentang flyer itu.
Namun sepertinya Joon benar-benar tidak tahu. Joon merasa kesal karena ada yang memakai hasil jepretannya tanpa ijin.
“Mana Jo Soo?! Jo Soo!” bentak Joon.
Joon menunjukkan flyer ke Jo Soo.
Jo Soo kaget. “Kenapa flyer ini bisa di kamu?” tanyanya ke Ha-na.
Ha-na duduk sambil menghaluskan gambar flyer yang kusut karena diremas-remas oleh Joon.
Dia masih tidak percaya Joon tidak tahu apa-apa tentang flyer itu. Dia bertekad tidak akan membiarkan Joon lolos kali ini. Sementara itu, Jo Soo dengan bingung menelepon klien mereka dan Joon sedang ditanya-tanyai oleh Lee Sun-ho siapa gadis itu (Ha-na).
In-sung menimpali bahwa Joon dengan ilegal menggunakan wajah Ha-na untuk flyer. Joon membantah bahwa bukan dia yang berbuat.
Sun-ho mengalah dan ganti bertanya mengapa Joon mengambil foto Ha-na.
In-sung menimpali dengan berkata bahwa Ha-na bahkan bukan seorang model.
“Tentu saja. Apa dia tampak seperti model bagimu?” Joon membenarkan.
Sun-ho masih terus mencecar Joon. “Kau biasanya tidak mengambil gambar seorang wanita kecuali dia seorang model profesional.”
Joon gelagapan tapi akhirnya terselamatkan dengan kedatangan Jo Soo yang memberi laporan bahwa flyer itu diterbitkan karena klien mereka menyukai foto Ha-na itu.
“Sudah aku duga. Orang itu suka selera yang sudah jadul. Lalu?” tanya Joon.
“Kata mereka, gambar itu ada dalam film yang kita berikan pada mereka. Mereka bilang mereka tidak akan bertanggung jawab.”
Joon marah karena klien mereka tidak merasa bersalah. Namun Jo Soo membela klien mereka karena foto Ha-na ada dalam film yang Joon berikan pada klien.
Joon kalah debat. Kemudian dia berkata dia pikir Jo Soo sudah menghapus foto Ha-na.
Jo Soo dengan enteng menjawab bahwa dia pikir foto Ha-na lucu, karena itu tidak dia hapus. “Kau biasanya tidak mengambil gambar seorang wanita kecuali dia seorang model professional. Tapi kau mengambil foto Ha-na. Aku pikir itu lucu.” (Skak! hahahaha..)
Sun-ho memandang ke Joon dan seakan-akan berkata bahwa pendapatnya dan Jo Soo sama.
Joon tetap berkelit bahwa yang terjadi tidak seperti perkiraan mereka.
Jo Soo semakin mempersulit posisi Joon dengan bercerita pada Sun-ho bahwa Joon ditolak oleh gadis di gambar flyer itu saat di Jepang (hahahahaha..)
Joon langsung menutup mulut Jo Soo. Namun, Sun-ho terlanjur tertarik dengan cerita Jo Soo. “Ditolak? Oleh siapa?”
Joon menyuruh Jo Soo tutup mulut. “Ah, dia. Aku tidak sengaja bertemu dengannya di Jepang. Aku menolaknya. Kemudian dia mengikutiku sampai ke sini. Menyebalkan sekali. Iya kan?” kata Joon mengarang cerita dan meminta dukungan Jo Soo. Jo Soo tidak bisa menjawab apa-apa.
Joon kemudian minta ijin pergi karena dia lelah dan dia masih harus membersihkan lantai bawah.
Joon masuk ke studionya. Ha-na langsung berdiri dan mencecar Joon dengan pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi. Joon hanya memberi penjelasan singkat bahwa klien-nya yang mencetak flyer bergambar Ha-na tanpa berkonsultasi dengannya dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. “Apa?” Ha-na tidak puas dengan penjelasan Joon.
“Aku juga korban dalam hal ini. Semua orang yang melihat flyer itu tahu bahwa aku yang memotret gambar itu. Meskipun itu hanyalah flyer, bagaimana perasaanku bila barang tidak berharga seperti itu bertebaran dengan namaku tertulis di sana?”
“Barang tidak berharga?!” Ha-na tidak terima.
Ha-na kemudian mempermasalahkan mengapa Joon memotretnya. Joon mengelak dan mengatakan bahwa bukan dia yang memotret Ha-na. Dia memotret Salju Berlian di belakang Ha-na. “Siapa kau sehingga kau bisa merusak hasil karya seniku? Siapa yang sebenarnya menjadi korban dalam hal ini?” (Joon.. Joon.. Masih aja ga mau ngaku.. ckckck..)
Ha-na tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ha-na kemudian mempermasalahkan Joon yang bersalah sehingga terjadi hal seperti ini. Joon membantah dengan memberi contoh bila dia mengambil gambar di Jembatan Madison dan dia memotret gambar seekor bebek, apa dia juga harus meminta ijin bebek itu dulu? (ya ampun, Joon, manusia kok disamain sama bebek..)
Ha-na kalah lagi dan dia minta Joon melakukan sesuatu terhadap flyer itu, namun Joon tetap berkata bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Tarik flyer-flyer itu,” perintah Ha-na.
“Kau seharusnya yang melakukannya bila kau benar-benar ingin flyer itu ditarik,” balas Joon dengan enteng.
“Dasar menyebalkan,” kata Ha-na kesal. “Tidakkah seharusnya kau paling tidak mengatakan maaf?”
“Aku sudah pernah bilang aku tidak pernah mengatakan maaf,” balas Joon lagi.
Ha-na kebingungan bagaimana bila seseorang melihat gambarnya. Joon bertanya siapa yang Ha-na khawatirkan akan melihat gambarnya.
Ha-na tidak menjawab. Joon langsung membayangkan Tae-seong.
Joon kesal dan mengalihkan pembicaraan. “Tidakkah ini menurutmu lucu? Aku pikir kau tidak mau melihatku bahkan untuk satu detik. Apakah kau tidak apa-apa berbicara denganku sekarang? Tidakkah pertemuan kita sekarang sudah lebih dari satu detik? Ah.. Aku tidak tahu bahwa kau tipe orang yang tidak memegang teguh kata-katanya. Apa kau tidak punya rasa menghargai diri sendiri?” ejek Joon. Ha-na sangat marah sampai-sampai tidak bisa berkata apapun. Joon mendekati Ha-na dan bertanya, “Atau... Kau ingin minta uang?”
Ha-na semakin marah. Dia langsung keluar dari studio.
Sementara itu, Sun-ho, In-sung, dan Jo Soo menguping pembicaraan Ha-an dan Joon. Sun-ho akan masuk, namun ditahan oleh In-sung.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya In-sung.
“Mereka sepertinya bertengkar. Kita harus menghentikan mereka,” jawab Sun-ho. Dia akan masuk, namun Ha-na membuka pintu dan keluar. Ha-na dan Sun-ho hampir saja bertabrakan.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Sun-ho dengan perhatian. (mirip sama ayahnya yang perhatian...) Ha-na tidak menjawab apa-apa dan langsung pamit pulang.
Mereka bertiga memandangi kepergian Ha-na dan berpikir bahwa Joon membuat Ha-na menangis. Di dalam studio, Joon merasa menyesal telah berkata kasar pada Ha-na.
Setelah Ha-na pergian, Jo Soo mengomel bahwa ini semua kesalahan Joon. “Joon seharusnya tidak mempersulit Ha-na,” kata Jo Soo.
“Bila Joon dituntut, dia akan bisa berpikir jernih,” kata In-sung.
“Apa?”
“Apa salahnya? Sudah waktunya dia dituntut,” kata In-sung lagi.
Jo Soo baru saja akan membantah saat Joon keluar dari studio dan menutup pintu studio dengan kasar. In-sung langsung berlari pergi. (lah, dia takut ternyata...)
Joon akan pergi, namun dipanggil Sun-ho. “Hey, Joon. Apakah tidak apa-apa?”
Joon tidak mengerti pertanyaan Sun-ho.
“Dia menangis kan?” Joon semakin kesal. “Kenapa aku harus peduli?” katanya dengan kasar kemudian dia pergi. Jo Soo yang kebingungan langsung mengikuti Joon.
“Dia menangis. Itu membuatku sedih,” kata Sun-ho berbicara sendiri.
“Tidak!” tiba-tiba In-sung berkata. “Kau selalu lemah terhadap wanita yang diperlakukan kasar.”
Sun-ho masih tidak mengerti. In-sung mengingatkan Sun-ho bahwa tiga bulan lalu dia dibuang oleh seorang wanita setelah Sun-ho meminjamkan sejumlah uang pada wanita itu.
Sun-ho yang salah tingkah langsung pergi dengan alasan sudah ada pasien yang menunggunya.
“Sunbae, kau tahu semua wanita tidak selalu mencintaimu karena kau baik hati,” In-sung mengingatkan.
Sun-ho memeriksa pasiennya. Di mejanya ada plang bertulisan ‘Lee Sun-ho, Dokter Keluarga’. (dokter kayak papanya juga berarti...)
Dengan penuh perhatian, Sun-ho bertanya mengapa pasiennya tidak datang minggu lalu.
Pasien Sun-ho mengeluh bahwa Sun-ho selalu memakan waktu lebih dari 30 menit saat memeriksa dan dia tidak punya waktu selama itu.
Sun-ho dengan ramah menyarankan mereka minum bersama agar Sun-ho bisa memeriksa kemampuan minum pasiennya. (hmm, tipe dokter yang memperhatikan pasiennya...)
Kim Yoon-hee (Lee Mi-sook) sedang menulis di buku harian seperti saat dia muda dulu.
Dia dipanggil oleh rekan kerjanya karena ada tanaman yang harus diperiksa.
Ha-na sedang menyetir mobil sambil mengomel karena ketidakpekaan Joon.
Joon menemui klien-nya dengan ditemani Jo Soo. Joon meletakkan flyer di meja dengan kasar.
Klien Joon merasa senang karena dia pikir mereka sehati. Klien Joon minta nomer hp Ha-na karena dia ingin bertemu Ha-na. Joon merasa kesal karena klien-nya tidak merasa bersalah.
Jo Soo berusaha menjelaskan bahwa Ha-na merasa keberatan wajahnya dicetak di flyer dan disebarkan tanpa seijin Ha-na. Joon menimpali dengan bertanya bagaimana perasaan kliennya bila wajahnya tersebar di jalan-jalan tanpa seijinnya.
Jo Soo merasa takjub sekaligus senang mendengar Joon membela Ha-na.
“Kalau begitu, apa aku harus meminta maaf padanya?” tanya klien Joon.
“Minta maaf padanya sekarang,” suruh Joon.
Kliennya langsung setuju meminta maaf pada Ha-na sekarang juga.
“Dan tarik flyer-flyer itu,” suruh Joon lagi.
Klien Joon merasa keberatan bila flyer-flyer itu harus ditarik. Dia mengatakan bahwa Ha-na seperti Cinderella yang membutuhkan sihir Ibu Peri lalu Ha-na akan berubah cantik seperti Cinderella. Klien Joon mengajak Joon ikut serta dalam proses pengubahan Ha-na. Klien Joon kemudian menyuruh Joon menelepon Ha-na cepat-cepat.
Joon menghembuskan nafas dengan kesal, tidak bisa berkata apa-apa lagi pada klien-nya yang nyentrik itu (hihihi..)
Di mobil dalam perjalanan pulang, Jo Soo memastikan lagi apa Joon tidak berniat mengubah pikirannya. “Kau hanya perlu meminta Ha-na bekerja sama denganmu.”
Joon memelototi Jo Soo. Jo Soo kemudian mengalihkan pembicaraan. Dia merasa takjub karena Joon membela Ha-na di depan klien mereka. Joon mengelak bahwa dia tidak membela Ha-na.
Jo Soo akhirnya mengganti topik lagi dan menawarkan Joon bekerja sama dengan ayah Jo Soo menjalankan bisnis potret untuk paspor. Joon semakin marah.
Ha-na pulang ke perkebunan ibunya. Dia turun dari mobil pick-up yang dikendarainya dan melambai-lambaikan tangannya memanggil Yoon-hee. “Bu!” panggilnya.
Yoon-hee yang sedang merawat tanaman balas melambaikan tangannya.
Sore harinya, Tae-seong mampir ke rumah Ha-na dan membawakan kue kesenangan Yoon-hee. Ha-na lalu juga meminta oleh-oleh untuknya. Dengan kalem, Tae-seong menjawab bahwa oleh-oleh untuk Ha-na adalah dirinya. Ha-na merasa malu namun senang.
Tae-seong, Yoon-hee, dan Ha-na makan bersama.
Saat Yoon-hee mengambilkan makanan tambahan untuk Tae-seong, Ha-na memberikan kode pada Tae-seong agar segera mengatakan pada Yoon-hee.
Tae-seong ternyata ingin membantu Ha-na merayu Yoon-hee agar Ha-na tidak jadi dikirm ke Seoul. Namun keputusan Yoon-hee tidak bisa diubah. Dia tetap ingin Ha-na sekolah di Seoul dan tidak ada siapapun yang bisa mengubah keputusannya.
Ha-na merengek. Dia berkata dia masih ingin bersama ibunya.
Tae-seong masih berusaha merayu Yoon-hee lagi dengan menawarkan pekerjaan untuk Ha-na di perkebunan, namun keputusan Yoon-hee tetap sama.
Setelah selesai makan dan Tae-seong tidak di dekat mereka, Yoon-hee menginterogasi Ha-na. Yoon-hee tahu alasan Ha-na tidak mau ke Seoul adalah Tae-seong dan bukan Yoon-hee seperti kata Ha-na. Ha-na merasa malu dan mengelak. Yoon-hee hanya tersenyum.
Tae-seong yang sedang melihat-lihat album foto bertanya pada Yoon-hee apakah Yoon-hee pergi ke Universitas Hangook juga.
Ha-na langsung mendatangi Tae-seong dan mengambil album di tangannya. Yoon-hee terlihat kaget Tae-seong tahu. Ha-na dengan salah tingkah berkata bahwa dia memberitahu Tae-seong bahwa Yoon-hee bersekolah di tempat yang sama dengan Tae-seong.
“Oh ya? Aku kuliah di sana selama dua tahun. Tapi aku harus ke Amerika Serikat,” kata Yoon-hee. Yoon-hee melanjutkan membersihkan sisa makanan.
Tae-seong dan Ha-na mengangguk-angguk.
Ha-na mengantarkan Tae-seong sampai luar. Dia bercerita tentang kisah cinta pertama ibunya dengan teman kuliahnya dulu. Ha-na bilang bahwa ibunya tidak sadar Ha-na mengetahui tentang cinta pertamanya. “Aku membaca buku hariannya beberapa tahun yang lalu. Dari situlah aku tahu tentang cinta pertamanya. Aku sangat ingin melihat mereka bertemu lagi meskipun hanya sekali,” cerita Ha-na.
Tae-seong juga berjanji bahwa dia akan menyimpan rahasia Ha-na sambil mengusap kepala Ha-na. Kemudian Tae-seong menyuruh Ha-na masuk, namun Ha-na bersikeras mengantarkan Tae-seong sampai luar.
Mereka kemudian berjalan lagi. “Menyenangkan, aku selalu ingin punya adik perempuan sepertimu.” Ha-na kecewa mendengar perkataan Tae-seong, namun dia berpura-pura biasa. Mereka berjalan lagi.
Yoon-hee sedang mengintip Ha-na dan Tae-seong dari jendela rumah. Dia tersenyum melihat kedekatan mereka. Yoon-hee lalu mengambil lagu lawas dan bekerja sambil diiringi lagu itu. Selesai bekerja, Yoon-hee duduk dan minum teh sambil melamun.
In-ha berdiri menunggu Hye-jung di depan bandara. Tidak berapa lama Hye-jung tiba. Hye-jung lalu menyuruh In-ha masuk ke mobilnya. In-ha minta dia yang menyetir.
Dalam perjalanan, Hye-jung bertanya apa In-ha sudah melihat hasil jepretan Joon. Hye-jung sedang membuka-buka majalah di pangkuannya dan melihat wajah Joon di majalah itu. In-ha dengan singkat menjawab bahwa hasil jepretan Joon bagus.
Hye-jung mengeluh Joon yang masih suka bermain-main, namun In-ha membela Joon dan meminta Hye-jung membiarkan Joon melakukan apa yang dia suka. Hye-jung berkata lagi bahwa Joon mirip dengan In-ha, selalu melakukan apa yang dia sukai. In-ha diam saja dan tidak berkomentar apa-apa. Hye-jung kemudian berkata bahwa dia tidak akan mengatakan apapun tentang hal itu (hal apa ya?). Hye-jung bilang bahwa Joon cukup membencinya sampai-sampai Joon akan keluar dari rumah.
Hye-jung mengajak In-ha makan malam bersama dan membujuk Joon agar mengurungkan niatnya. Joon pasti akan mendengar perkataan In-ha. In-ha masih diam saja.
“Kenapa kau diam saja? Apa kau sadar kau tidak sekalipun memandangku sejak kau masuk mobil ini?” In-ha lalu menoleh sebentar memandang Hye-jung, namun Hye-jung tahu bahwa In-ha tidak benar-benar melihatnya.
“Kau kelihatan lelah,” kata In-ha.
“Tidak apa-apa, aku hanya lelah karena pekerjaan,” jawab Hye-jung. “Aku tidak banyak minum-minum akhir-akhir ini.” Hye-jung seakan-akan meminta perhatian In-ha.
“Aku dengar kau berkencan dengan seseorang. Apakah kau tidak berencana menikah?”
Hye-jung tertawa sinis. “Satu kali sudah cukup. Apa kau berkencan dengan seseorang saat ini?”
“Kau tahu aku tidak tertarik. Aku suka menyendiri.”
“Tentu saja. Aku sudah tahu. Menyetirlah lebih cepat. Chang-mo pasti sudah menunggu kita,” kata Hye-jung.
Reuni diadakan di Cafe C’est La Vie.
Chang-mo dipuji Dong-wook karena sudah bekerja keras. In-ha da Hye-jung tiba. Mereka saling menyapa. Dong-wook menggoda Chang-mo yang masih saja belum memiliki kekasih.
Hye-jung melihat foto-foto mereka jaman dulu yang dipasang di dinding cafe. Dia berkata bahwa In-ha saat itu masih sering tertawa.
Chang-mo menimpali dan berkata bahwa sekarang In-ha jarang tersenyum.
In-ha memandangi fotonya jaman muda dan hanya tersenyum kecil.
Chang-mo kemudian bertanya pada Dong-wook tentang putranya yang berpraktek di dekat Cafe C’est La Vie.
Dong-wook mengomel tentang Sun-ho yang susah-susah dia sekolahkan di sekolah kedokteran, namun Sun-ho justru membuka cafe. Dong-wook menyalahkan pengaruh Chang-mo pada Sun-ho. In-ha menyela dan berkata bahwa membuka cafe juga ide yang bagus. Dong-wook hanya menggeleng-gelengkan kepala. Hye-jung menimpali dengan mengatakan bahwa anak-anak selalu seperti itu, contohnya Joon. Chang-mo kemudian berkata itulah alasan dia tidak mau menikah. Dia bahkan tidak menelepon anak-anak temannya karena khawatir mereka akan bertengkar dengan orang tuanya.
In-ha, Dong-wook, dan Chang-mo menyanyi di panggung lagi.
Hye-jung mengamati mereka sambil mengingat-ingat masa lalu. (jadi membayangkan kalo aku reuni 20 tahun lagi bakal kayak mereka.. T.T)
Joon diajak minum-minum oleh teman-temannya. Joon tidak ikut minum, dia hanya diam saja.
Teman Joon memuji hasil jepretan Joon yang tersebar di mana-mana. “Ini Era Seo-Joon sekarang,” kata temannya.
Wanita di sebelah Joon mulai merayu Joon dengan cara memuji-muji Joon. Namun Joon tidak tertarik dan menepis tangan wanita itu.
Teman Joon merasa aneh dengan tingkah laku Joon. Mereka menanyai Joon. Dengan kesal Joon menyuruh teman-temannya diam. Untuk mengalihkan perhatian, Joon mengajak teman-temannya bersulang namun dia tidak meminum minumannya. Dia kelihatan berpikir tentang sesuatu.
Dong-wook dan In-ha masih menyanyi di panggung.
Chang-mo berjalan mendekati Hye-jung yang melihat In-ha menyanyi sambil tersenyum-senyum. Chang-mo menggoda Hye-jung, bila Hye-jung masih melihat In-ha dengan tatapan terpesona seperti itu, mengapa dia dan In-ha memilih bercerai?
“Jangan menggodaku atas apa yang terjadi 10 tahun lalu. Oh ya, apa yang mau kau bicarakan? Bukankah ada sesuatu yang mau kau beritahukan pada kami hari ini?” tanya Hye-jung.
Chang-mo terlihat ragu-ragu. Dia melihat ke arah In-ha yang sedang menyanyi. Hye-jung melihat arah pandangan Chang-mo.
“Apa tentang itu?”
“Itu... Aku tidak tahu apa aku harus memberitahu In-ha lebih dulu atau memberitahu kalian secara bersamaan,” kata Chang-mo dengan bingung.
“Beritahu aku dulu,” potong Hye-jung.
Chang-mo masih terlihat ragu.
“Bila ada sesuatu yang perlu kau katakan padanya, aku juga bisa mendengarnya.”
Chang-mo mulai yakin. “Baiklah. Mungkin aku harus memberitahumu lebih dulu.”
“Tentang apa?”
Chang-mo mulai tegang, Hye-jung tertawa kecil melihat tingkah laku Chang-mo.
“Ketika aku mengecek daftar nama alumni untuk acara pesta pembukaan, aku menemui sebuah nama,” cerita Chang-mo.“Siapa?” tanya Hye-jung.
Chang-mo diam dulu, baru menjawab, “Yoon-hee.”
Hye-jung kaget. “Kim Yoon-hee,” ulang Chang-mo. “Aku tahu. Kita semua berpikir sama. Kita pikir Yoon-hee meninggal di Amerika. Tapi, dia masih hidup. Dia juga di Korea.”
Hye-jung terkejut. Tangannya gemetaran sehingga botol yang dipegangnya terjatuh dan pecah. Semua orang, termasuk In-ha melihat ke arahnya.
In-ha dan Dong-wook akan menuju ke tempat Hye-jung, namun Hye-jung bilang dia baik-baik saja. In-ha dan Dong-wook melanjutkan menyanyi.
Chang-mo merapikan pecahan botol. “Aku tahu. Aku juga syok awalnya. Aku ingin memberitahu In-ha...”
“Jangan beritahu dia.”
“Apa?”
“Tolong, jangan beritahu dia.”
Chang-mo berkata bahwa cepat atau lambat In-ha akan tahu. Hye-jung minta Chang-mo jangan memberitahu In-ha sampai Hye-jung bisa berpikir jernih. Hye-jung minta waktu sebentar saja.
Chang-mo dengan terpaksa menyetujui permintaan Hye-jung.
Joon masih terus berpikir sementara teman-temannya sudah turun dan menari.
Seorang wanita mendekati Joon dan bertanya tipe wanita seperti apa yang disukai Joon.
“Apa kau suka Operalia? Kau harus mampu mengimbangiku dalam hal mode, seni, dan musik. Kau juga harus tahu kita tidak akan serius.”
Joon masih akan melanjutkan, namun dia terbayang-bayang wajah Ha-na. Joon jadi kesal dan menyuruh wanita itu minggir karena dia akan pulang.
Saat akan keluar dari diskotik, ponsel Joon berbunyi. Ternyata itu dari Jo Soo yang mengabarkan klien mereka mengubah pikirannya. Joon senang karena dia pikir kliennya sudah sadar bahwa menggunakan Ha-na sebagai bintang iklan adalah ide yang buruk.
“Bukan begitu. Klien kita akan mengganti fotografernya.”
“Apa?”
“Dia bilang dia tidak bisa berbuat apa-apa kalau kau sangat membenci gadis itu. Dia bilang dia akan bekerja sama dengan Oh Joon-suk, rivalmu.”
“Sial!” Joon kesal karena rivalnya yang akan menggantikannya.
“Oh Joon-suk tertarik dengan wajah Ha-na. Dia bahkan meneleponku langsung untuk meminta nomer ponsel Ha-na.”
Joon dengan marah melarang Jo Soo memberikan nomer telepon Ha-na karena Joon-suk hanya akan mempermainkan Ha-na. Dia kemudian mematikan telepon dengan kesal. (hahaha.. Dikalahkan rival nih...)
Ha-na sedang merapikan tanaman di perkebunan. Saat berdiri dia melihat Tae-seong yang sedang berdiri di balkon. Ha-na merasa senang dan akan memanggil Tae-seong, namun mengurungkan niatnya dan kemudian mengambil ponsel untuk memotret Tae-seong. (pingin ponsel-nya Ha-na... *ngiler)
Tidak berapa lama, Tae-seong didatangi teman wanitanya dan mereka pergi bersama. Ha-na kecewa melihat pemandangan itu.
Sementara itu, Joon sedang menyetir sambil terus berpikir.
Ha-na dan Tae-seong sedang merawat tanaman bersama pekerja lain. Ha-na mengambil posisi di samping Tae-seong. Atasan mereka bertanya pada mereka apa mereka sedang berpacaran karena mereka selalu terlihat bersama.
Ha-na dan Tae-seong terkejut dan merasa malu. “Tidak, kami hanya teman biasa. Kami kebetulan sama-sama sekolah di Jepang. Dia bahkan bukan tipeku,” jawab Ha-na dengan malu campur bingung.
Atasan Ha-na tidak bertanya lagi lalu pergi sambil menyuruh Tae-seong mengikutinya dan membawa akar-akar tanaman. Ha-na mengulangi lagi bahwa mereka tidak berpacaran. Teman-teman kerja yang lain mendengarnya dan berkata bahwa Tae-seong tidak mungkin berpacaran dengan Ha-na karena Tae-seong sudah punya pacar.
Ha-na mendengarnya. Teman-temannya menjadi sungkan lalu langsung melanjutkan pekerjaan mereka. Tidak berapa lama Tae-seong kembali dan mengajak Ha-na makan.
“Atasan kita lucu ya?” kata Ha-na untuk menutupi rasa malu.
“Apa betul aku bukan tipemu?” tanya Tae-seong.
Ha-na kaget dan mengulangi bahwa Tae-seong pasti bukanlah tipe pria idamannya. Tae-seong merasa tertohok. Ha-na menyadari kesalahannya dan bingung menjelaskan.
Tae-seong akan mengatakan sesuatu, namun Ha-na merogoh-rogoh kantongnya dan menyadari ponselnya terjatuh. Dia minta Tae-seong menunggunya sebentar.
Saat mengambil ponselnya di green house, Ha-na mendengar teman-teman kerjanya membicarakan Tae-seong yang sudah punya pacar dan bahwa Tae-seong sering mengunjungi pacarnya sebelum dia bersekolah di Jepang. Ha-na juga mendengar bahwa pacar Tae-seong datang bulan lalu dan juga saat Ha-na pergi ke Seoul.
Ha-na yang terkejut tidak sadar bahwa Tae-seong sudah berdiri di belakangnya. Ha-na menoleh dan kaget, lalu beralasan bahwa dia lupa ibunya meminta dia melakukan sesuatu dan dia akan pergi lebih dulu.
Teman-teman kerja Ha-na juga terkejut karena mereka pikir Ha-na sudah pergi.
Ha-na lalu berlari keluar, meninggalkan teman-teman kerjanya yang bingung dan Tae-seong yang juga bingung harus berkata apa. Tae-seong menyusul keluar dan mencari Ha-na.
Ha-na sedang berjalan-jalan di jembatan sambil mengingat-ingat perkataan teman-teman kerjanya. Dia lalu teringat tentang wanita yang mendatangi Tae-seong di balkon saat dia memotret Tae-seong. Ha-na merasa sedih.
Tiba-tiba Joon memanggilnya dari belakang. Ha-na menoleh. Joon memandangi Ha-na.
“Apa kau menangis?” tanya Joon. Ha-na diam saja, masih kaget karena Joon berada di sana.
“Wah, bagaimana bisa aku langsung bertemu denganmu saat aku ke sini? Apa kita benar-benar ditakdirkan satu sama lain?” kata Joon dengan penuh percaya diri.
Tae-seong masih berlari-lari mencari Ha-na namun tidak menemukan Ha-na. Dia mencari lagi ke tempat lain.
“Ini salahmu. Kau harus kembali untuk berjuang lebih keras.”
Ha-na diam saja memandangi Joon.
“Ini tugasmu untuk kembali dan berjuang lebih keras. Kalau tidak, aku tidak akan kemari. Apa kau tidak akan melawan saat hakmu diganggu orang lain?”
Ha-na masih diam saja. “Itulah kenapa orang-orang menyebutmu gampangan,” kata Joon lagi.
“Lagi-lagi. Siapa yang gampangan? Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini? Siapa memangnya kau? Siapa?” Ha-na berkata dengan marah lalu menangis.
Joon kaget dan bingung. “Ada sesuatu yang salah?”
Ha-na masih terisak-isak. “Katakan apa yang perlu kau katakan.”
“Apa?” Ganti Joon yang bingung.
“Ada yang mau kau katakan padaku. Karena itulah kau ke sini.”
Joon bingung bagaimana akan mengatakannya.
"Kau bukan seseorang yang yang akan jauh-jauh kemari kalau kau tidak mendapatkan hasil apa-apa. Baiklah, aku memang seorang idiot. Aku mudah diganggu. Aku mudah tertipu. Aku akan mempercayai semuanya. Jadi katakan sekarang!” Ha-na menumpahkan kekesalannya pada Joon sambil terus menangis.
Joon terdiam sejenak lalu berkata, “Aku minta maaf. Aku minta maaf. Aku minta maaf.”
Ha-na kaget mendengar apa yang Joon katakan.
“Baiklah, aku minta maaf! Aku minta maaf karena aku mengajakmu ke daerah bersalju di Jepang. Aku minta maaf karena mengatakan hal-hal kasar padamu. Aku minta maaf untu flyer-flyer itu juga. Puas?” kata Joon. Ha-na menangis semakin keras.
“Aku bilang aku minta maaf! Kenapa kau menangis?” Joon semakin bingung.
“Aku menangis karena senang!” kata Ha-na mengelak.
Joon akhirnya bingung harus berbuat apa karena Ha-na terus menangis. (cowok memang lemah terhadap air mata wanita hehehe..)
Joon mengajak Ha-na duduk dan memberikan saputangan. Joon menunggu tangisan Ha-na berhenti baru bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Ha-na tidak menjawab. Dia justru berterima kasih karena Joon sudah meminta maaf. “Tapi, bukankah kau bilang kau tidak pernah meminta maaf?”
Joon gelagapan. “Well... Siapa yang tidak pernah mengatakan maaf sekalipun dalam hidupnya?”
Ha-na tidak membahas lagi. Dia bertanya untuk apa Joon menemuinya. Dia sudah baik-baik saja, jadi Joon bisa memberitahunya sekarang. Tapi Joon justru berkata agar Ha-na melupakannya.
Ha-na memaksa Joon mengatakannya, namun Joon tetap tidak mau.
Akhirnya Ha-na menyerah dan menyuruh Joon pergi bila tidak ada yang mau Joon katakan. Ha-na kemudian berdiri dan berjalan pergi, namun ditahan oleh Joon.
Dengan serius Joon bertanya, “Kau.. mau jadi modelku?”
Ha-na terdiam kaget. “Kenapa aku?” tanyanya.
Joon melepaskan pegangan tangannya. “Jangan salah mengira. Bukan aku. Klienku yang menginginkanmu.” Joon kemudian bercerita tentang kliennya yang menyukai Ha-na setelah melihat gambarnya di flyer dan bila Ha-na tidak mau menjadi modelnya, Joon akan kehilangan kontrak. “Aku memohon padamu sekarang. Ini melukai harga diriku, tapi ini lebih baik daripada kontrakku diserahkan ke orang lain. Jadi aku pergi ke sini. Jawab dalam waktu tiga detik (masih aja arogan.. ckckck..). satu, dua...”
Ha-na sudah akan menjawab, namun dia dipanggil Tae-seong yang akhirnya menemukan Ha-na.
Joon terkejut melihat Tae-seong. “Apa-apaan ini? Kalian bahkan tingal bersama di sini?”
Tae-seong meminta maaf pada Ha-na lalu mengajaknya pergi dengan menarik tangan Ha-na.
Namun Ha-na tidak mau. “Aku tidak punya hal yang aku beritahukan pada Sunbae.”
Joon langsung memegang tangan Ha-na juga.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Tae-seong.
“Dia bilang tidak ada yang harus dia bicarakan denganmu,” kata Joon, menantang.
“Tidak apa-apa,” kata Ha-na pada Tae-seong. Ha-na baru saja akan mengatakan sesuatu pada Joon, namun dipotong Joon. “Kalau kau pergi dengannya dan meninggalkanku lagi, di antara kita tidak ada hubungan lagi (kata2 Joon ambigu... bikin salah tangkep hehehe)
Ha-na melepaskan pegangan tangan Joon lalu berkata, “Aku akan menjadi modelmu. Kau datang kemari untuk memintaku. Puas? Jadi kau bisa pergi sekarang. Aku akan menghubungimu.”
Ha-na menoleh pada Tae-seong dan mengajak Tae-seong pergi.
Tae-seong melirik Joon tajam lalu pergi mengikuti Ha-na.
Joon yang tersadar dari kekagetannya berteriak, “Hei, jangan meneleponku! Jangan berani-berani menghubungiku!” (hahahaha.. sekali lagi menjadi playboy gagal... hahahaha)
Yoon-hee sedang beristirahat setelah memberi instruksi para pegawainya.
Dia melihat Joon yang sedang berjalan menuju mobil sambil marah karena Ha-na tidak menganggapnya. Yoon-hee terus mengikuti sosok Joon yang mirip dengan In-ha, cinta pertamanya. Yoon-hee lalu membalikkan badan.
Ha-na sedang berjalan di depan Tae-seong. Ha-na berhenti dan membalikkan badan.
Dengan ragu-ragu dia bertanya pada Tae-seong apa benar Tae-seong memiliki kekasih.
Tae-seong tidak langsung menjawab. Dia kemudian berkata bahwa dia tidak memiliki kekasih, tapi ada gadis yang sudah dijodohkan dengannya sejak Tae-seong masih kecil.
Ha-na terkejut, namun dia langsung menutupi dengan tertawa kecil. “Bagaimana bisa aku sebodoh ini? Aku tinggal bersamamu selama di Jepang, aku tidak pernah sekali pun menyadarinya.” Tae-seong akan memegang lengan Ha-na, namun Ha-na mundur.
“Jangan bersikap baik padaku. Aku akan membenci sikap baikmu.” Mata Ha-na berkaca-kaca dan dia menangis. “Aku sedikit menyukaimu. Dalam waktu yang lama.”
Tae-seong terkejut mendengar pengakuan Ha-na.
“Aku tahu kau menganggapku sebagai teman. Tapi aku hanya...”
“Bukan seperti itu..” kata Tae-seong, namun langsung dipotong Ha-na.
“Tidak apa-apa. Aku tidak bisa melepaskanmu secara langsung... Tapi jangan khawatir tentangku. Aku akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja.”
Ha-na berusaha bersikap ceria, namun dia masih terus menangis. Dia akhirnya pamit dan pergi pulang dengan berlari. Tae-seong hanya diam saja memandangi kepergian Ha-na.
Joon menyetir dengan marah. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia terkejut mendengar berita yang diterimanya dan memacu mobilnya lebih cepat.
Pembantu Hye-jung membukakan pintu untuk In-ha.
In-ha langsung bertanya di mana Hye-jung.
Pelayan Hye-jung belum sempat menjawab saat Hye-jung muncul dan terlihat mabuk.
Pelayan Hye-jung melapor bahwa Hye-jung mabuk-mabukan lagi tiap sore beberapa hari dan hari ini Hye-jung sudah mabuk-mabukan sejak pagi hari.
Hye-jung mengoceh dengan tidak jelas bahwa dia tidak mabuk namun tubuhnya oleng.
In-ha langsung maju dan menangkap tubuh Hye-jung. “Hati-hati,” kata In-ha.
Hye-jung langsung mendorong In-ha dan berkata dia baik-baik saja. Hye-jung terus mengoceh tidak jelas. Dia bilang dia akan menelepon Joon karen In-ha pulang rumah setelah sekian lama tidak pulang. Pelayan Hye-jung mengingatkan bahwa Hye-jung sudah menyuruhnya menelepon In-ha tadi. Tiba-tiba Hye-jung jatuh terduduk. In-ha memegangi Hye-jung. “Hye-jung,” panggil In-ha. “In-ha. Sejak kapan kau berubah drastis? Ke mana In-ha yang lembut dan hangat? Kenapa kau berubah banyak? Siapa yang mengubahmu?”
In-ha tidak menjawab apa-apa, lalu membantu Hye-jung berdiri.
Joon masuk rumah dengan terburu-buru dan naik ke lantai dua.
In-ha sedang duduk di kursi, menjaga Hye-jung yang dipasangi infus. In-ha berdiri saat Joon datang dan berkata bahwa Hye-jung baik-baik saja.
Dengan sinis, Joon berkata, “Wow. Aku bisa melihatnya. Aku akan berganti pakaian. Kau bisa pulang sekarang. Aku akan mengurus Ibu.”
Joon akan membalikkan badan, namun dipanggil oleh Hye-jung. “Kemarilah,” kata Hye-jung.
Hye-jung bangkit dan duduk, namun dihalangi In-ha.
“Tidak apa-apa. Aku tidak memanggilmu ke sini agar kau melihatku dipasanngi infus. Ada yang harus aku beritahukan padamu dan Joon.”
“Ada apa?” tanya Joon.
Hye-jung terdiam sejenak dan tampak tegang. “Mari kembali bersama lagi.”
In-ha dan Joon kaget mendengar pengumuman Hye-jung.
“Aku sudah memikirkannya selama 10 tahun ini. Aku bisa memahamimu sekarang. Aku tidak akan memintamu berubah. Jadi..”
“Bu,” potong Joon.
“Ayo kembali bersama lagi,” Hye-jung berkata lagi saat In-ha tidak berkata apa-apa. “Aku tidak bisa melanjutkan hidup seperti ini.” Joon menunggu jawaban In-ha. (meskipun sepertinya dia udah tahu apa jawaban In-ha) “Maaf,” kata In-ha akhirnya.
Joon menghembuskan nafas kesal lalu keluar rumah.
In-ha menyusul Joon. “Joon. Ada yang harus kubicarakan denganmu.”
Joon menoleh dengan marah. Matanya berkaca-kaca. “Sekarang kau mau bicara? Aku juga tidak menyukainya. Tidak! Tidak!” kata Joon dengan suara keras.
Joon masuk ke mobil dan menjalankan mobilnya. In-ha memandangi kepergian Joon dengan sedih. Joon menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. (awas Joon, bisa nabrak..)
Ha-na sedang menangis di kamarnya mengingat cintanya yang tidak terbalas.
In-ha sedang berdiri di pintu rumah Hye-jung sambil merenung.
Yoon-hee sedang memeriksa tanaman sambil mencatat perkembangan tanaman.
Joon sedang minum sendirian di apartemennya.
(lagu Because It’s You by Tiffany SNSD membuat suasana semakin mellow T.T)
Joon sedang mengecek hasil pemotretan saat ponselnya berbunyi. Dia membaca nama bertuliskan Ha-na di layar kaca dan langsung mematikan ponselnya dan melanjutkan pemotretan.
Di mobil, ponsel Joon berbunyi lagi dan dimatikan lagi oleh Joon.
Joon baru saja selesai meeting dengan klien saat ponselnya berbunyi, dan lagi-lagi ponselnya dimatikan. Jo Soo penasaran siapa yang menelepon Joon dan terus-menerus dimatikan oleh Joon.
“Dia mungkin menghamili orang!” kata In-sung dengan semangat.
“Ya. Mungkin saja...” kata Jo Soo tidak sadar. Dia lalu melihat wajah In-sung. “Tidak mungkin!” bentaknya.
Ha-na baru saja bangun kemudian makan pagi dengan ibunya.
Ibunya mulai longgar dan menyetujui bila Ha-na tidak mau tinggal sendirian di Seoul.
Ha-na langsung mengatakan bahwa dia mau tinggal di Seoul. Ibunya merasa senang. Yoon-hee lalu berkata bahwa dia akan ke Seoul sore ini dan akan menemani Ha-na mencari tempat tinggal.
Yoon-hee berkata bahwa dia mendengar Tae-seong pergi ke Jeju minggu lalu.
Ha-na hanya menjawab singkat bahwa dia sudah tahu lalu mengalihkan pembicaraan. Dia berkata dia akan pergi ke suatu tempat setelah makan siang.
Joon sedang istirahat pemotretan. Jo Soo menunjukkan tema pemotretan, namun Joon menolak dan minta Jo Soo menunjukkan nanti saja.
Ada pesan masuk ke ponsel Joon. Joon membaca dengan ogah-ogahan. Dia akan meletakkannya namun tersadar dan membacanya lagi. “Apa? Datang ke mana?!” katanya kaget.
Joon lalu memanggil Jo Soo. “Hei, pindahkan lokasi pemotretan!”
“Apa?” tanya Jo Soo kaget.
“Atau batalkan semuanya,” perintah Joon.
Jo Soo merasa aneh dengan permintaan Joon yang mendadak.
“Apa kita harus melakukannya di sini?” tanya Joon dengan marah.
Joon kemudian berpikir.
Ha-na masuk ke cafe dan disambut In-sung. Ha-na kemudian menuju studio Joon saat Joon sedang memotret model lain. Ha-na memperhatikan proses pemotretan dan terkejut saat Joon menggoda model yang sedang dipotretnya.
Joon melihat Ha-na, namun langsung membalikkan badan dan bertanya pada Jo Soo siapa yang mengijinkan orang tidak berkepentingan masuk saat proses pemotretan.
Jo Soo menoleh dan melihat Ha-na, lalu menyapa dengan ramah.
Joon menyuruh Jo Soo mengusir Ha-na namun Jo Soo tidak tega. Ha-na berkata bahwa dia akan menunggu di luar dan berapa lama sampai pemotretan selesai.
Jo Soo menjawab satu jam, namun Joon memotong dan berkata mereka akan melakukan pemotretan sampai sore. Joon juga berkata mereka akan melakukan pemotretan di sana terus.
Jo Soo terkejut karena Joon tadi minta lokasi pemotretan dipindah.
Ha-na melirik kesal pada Joon lalu keluar dari studio.
Joon menoleh saat Ha-na keluar.
Ha-na menunggu di luar sambil duduk. Dia berpikir apa Joon marah padanya sampai-sampai Joon tidak mengangkat teleponnya.
Ha-na mengingat saat Joon mengajaknya bekerja sama. Ha-na merasa kesal karena justru Joon yang marah. Dia lalu bangkit berdiri dan akan pergi, namun mengurungkan niatnya.
In-ha sedang memberikan kuliah. Dia menunjukkan foto berjudul Family by Hugo Asheley. Dia bercerita bahwa Hugo melukis lukisan ini saat istrinya sedang mengandung. Namun istrinya meninggal bersama dengan anak mereka yang belum lahir karena pandemic Flu Spanyol. Tiga hari kemudian Hugo juga meninggal karena penyakit yang sama.
Seorang mahasiswa bertanya apakah Hugo menyusul istrinya yang sudah meninggal?
“Aku tidak tahu. Seseorang yang bisa hidup dan mati bersama dengan seseorang, mungkin adalah seseorang yang merasa bahagia,” kata In-ha dengan setengah melamun dan sedih.
In-ha lalu cepat-cepat mengakhiri kuliah. Para mahasiswa kecewa. In-ha lalu berkata bahwa Hugo Asheley tetap hidup di dalam hati orang-orang yang melihat lukisannya.
Salah seorang mahasiswa bertanya siapa yang ada di hati In-ha.
In-ha terdiam dan memandang keluar jendela sebelum menjawab, “Hatiku sudah kosong dalam waktu yang lama. Bahkan seni tidak menyukai seni yang gersang.”
Para mahasiswa semakin penasaran, tapi In-ha tidak mau memberitahu lebih lanjut.
In-ha sedang berjalan pulang. Dia berjalan sambil terkenang masa lalunya.
Sesampainya di gerbang, In-ha mengeluarkan ponselnya.
Joon sedang mengedit foto sendirian saat In-ha menelepon.
In-ha menelepon karena dia ingin tahu keadaan In-ha dan mengabarkan bahwa dia akan pergi ke studio In-ha.
Joon menghembuskan nafas setelah selesai bicara dengan ayahnya.
Jo Soo masuk dan dengan gembira bertanya, “Apa aku boleh memanggilnya sekarang?”
Joon pura-pura tidak tahu siapa yang dimaksud Jo Soo dan kembali mengedit foto.
Jo Soo meminta Joon meninggalkan foto-foto itu dan menyuruhnya meminta Ha-na menjadi model Joon sekali saja. “Dia masih di sini?” tanya Joon tidak peduli
Jo Soo memaksa Joon agar menemui Ha-na karena klien mereka sudah menanyakan terus. Joon tetap tidak mau memotret Ha-na.
Jo Soo mulai menebak-nebak apa ada sesuatu yang terjadi antara Joon dan Ha-na. Dia menebak apa Joon pernah mencoba mendatangi Ha-na di rumahnya dan berusaha meyakinkan Ha-na agar menjadi modelnya. Dia langsung yakin Ha-na menolak Joon lagi.
“Jadi kau ditolak oleh gadis yang sama sebanyak dua kali!” kata Jo Soo dengan gembira.
Joon mulai marah dan mencekik Jo Soo.
Ha-na berlatih menjadi model. Pelayan cafe memperhatikannya lalu tersenyum sinis melihat keanehan Ha-na.Ha-na kembali duduk dan melihat bunga lili yang akan segera tumbuh. Dia lalu mengambil sarung tangan dan membersihkan tanaman liar di sekitar bunga lili itu.
In-sung melihat kelakuan Ha-na. “Dia benar-benar orang yang aneh,” kata In-sung.
Di saat bersamaan Sun-ho masuk ke kafe. “Apa yang kau lakukan?” tanya Sun-ho.
In-sung menunjuk ke arah Ha-na, Sun-ho ikut-ikutan memperhatikan.
Sun-ho senang melihat Ha-na lagi dan akan mendatangi Ha-na.
In-sung menahannya. “Apa? Apa yang akan kau lakukan sekarang? Tidak boleh.” In-sung lalu mendorong Sun-ho masuk.
Di saat bersamaan, In-ha keluar dari studionya dan melihat Ha-na yang membungkuk dan sedang merapikan tanaman.
In-ha akan berjalan keluar saat Ha-na ditelepon oleh Yoon-hee.
Yoon-hee mengabarkan bahwa dia sudah sampai di Seoul dan bertanya apa urusan Ha-na sudah selesai. Ha-na bilang dia akan segera menyusul ibunya. Ha-na menutup telepon.
In-ha sedang berjalan ke arahnya.
“Aku hanya datang untuk membantumu. Kau bilang kau membutuhkanku. Aku datang agar harga dirimu tidak terluka...”
“Ada sesuatu yang mau kukatakan,” potong In-ha. In-ha baru akan mengatakan maksudnya, tapi Sun-ho dan In-sung muncul. In-ha lalu mengajak Ha-na pindah tempat.
In-sung dan Sun-ho mengamati mereka. “Seo pasti menghamili gadis itu,” kata In-sung pada Sun-ho.
In-ha dan Yoon-hee sama-sama berjalan menuju studio In-ha namun dari arah yang berbeda. Mereka saling berseberangan di zebra cross (ketemu! Ketemu!)
Saat In-ha melihat ke arah Yoon-hee, Yoon-hee sedang menunduk mengambil tanaman. (yaaaaahhh)
In-ha membetulkan letak jaketnya saat hujan tiba-tiba turun. Sedangkan Yoon-hee membuka payungnya yang berwarna kuning (kayak payung pas muda hihihi..)
Saat lampu berubah warna hijau, Yoon-hee, In-ha dan pejalan kaki lainnya menyeberang.
Joon berjalan di depan Ha-na, lalu dipanggil oleh Ha-na.
“Permisi, apa yang mau kau katakan padaku?” tanya Ha-na.
Joon membalikkan badan. “Bukankah aku sudah bilang padamu segala di antara kita berakhir bila kau tidak memilihku? Tidak sepertimu, aku adalah seseorang yang memegang teguh kata-katanya.”
“Aku paham. Baiklah, lupakan saja. Apakah ini alasanmu mengajakku kemari?”
Ha-na membalikkan badan dan akan pergi, namun dihentikan Joon. Joon baru saja akan mengatakan sesuatu saat tiba-tiba hujan turun. Joon lalu menyeret Ha-na.
Joon dan Ha-na berlari-lari lalu berteduh di bawah payung gerobak berwarna merah. Mereka saling tatap dan salah tingkah.
In-ha dan Yoon-hee menyeberang dan saling melewati satu sama lain. Waktu berjalan lambat saat mereka bersebelahan. In-ha menoleh ke arah Yoon-hee, namun dia belum sadar itu adalah wanita cinta pertamanya. (itu Yoon-hee, Paman.. Ayo sadar..)
Saat sampai di trotoar, In-ha berhenti dan menoleh. Dia menyadari bahwa wanita yang dilewatinya adalah Yoon-hee. Dia mengikuti arah Yoon-hee dari trotoar di seberang Yoon-hee. Dia terus memandangi Yoon-hee sambil berlari karena dia takut kehilangan jejak Yoon-hee.
Saat keadaan memungkinkan, In-ha menyeberang. Dia berhenti memandang Yoon-hee yang agak jauh di depannya. Setelah dia yakin itu Yoon-hee, dia berlari-lari mendatangi Yoon-hee.
In-ha sampai di depan Yoon-hee. Yoon-hee mengangkat kepalanya dan memandang ke In-ha. Yoon-hee terkejut.
“Apa kau... dia?” tanya In-ha.
In-ha membuka kacamatanya. Mata In-ha berkaca-kaca.
Yoon-hee yang menyadari bahwa pria di depannya adalah In-ha juga berkaca-kaca.
To be continued..
No comments:
Post a Comment