Seo Joon (putra Seo In-ha) mengambil foto-foto pemandangan sepanjang perjalanannya di kereta. Kereta tiba di stasiun. Jo Soo, Jo Soo (Oh Seung-yun) dan kawan-kawannya turun duluan baru disusul oleh Joon. Joon bertabrakan dengan Jung Ha-na (putri Kim Yoon-hee) yang sedang terburu-buru. Ha-na meminta maaf karena sudah menabrak Joon. Ha-na langsung berlalu pergi karena sudah dipanggil oleh kedua temannya. Ha-na meminta maaf sekali lagi, lalu terburu-buru menuju kereta yang sudah akan berangkat. Joon memandangi arah Ha-na pergi lalu dia pergi ke arah yang berlawanan.
Joon sedang mengambil gambar model dengan mengenakan berbagai macam perhiasan di suatu tepat yang berlatar salju. Joon mengamati hasil jepretannya lalu meminta istirahat. Dia menyerahkan kamera ke Jo Soo. “Ada apa?” tanya Jo Soo.
“Apa perhiasan akan selalu menggambarkan Ratu Salju? Bukankah ini sudah konsep lama?” jawab Joon.
“Aku masih menyukai konsep itu. Berlian. Jantungmu berdebar keras.. Ah, itu keahlianmu. Membuat jantung berdebar-debar,” goda Jo Soo.
“Jantung berdebar-debar? Aku tidak tahu. Jantungku tidak pernah berdebar-debar untuk siapa pun.” Jo Soo tidak percaya kalau Joon tidak pernah berdebar-debar, tapi Joon memang tidak pernah berdebar-debar. (belum dapet gadis tiga detik kayak ayahnya... hehehe...)
“Keahlianku adalah membuat para gadis tergila-gila padaku,” kata Joon dengan percaya diri lalu mengedipkan satu matanya.
Joon melihat hasil jepretannya di kamera, lalu pandangan matanya tidak sengaja melihat ke arah sang model. Gadis itu sangat senang dan melambai-lambaikan tangannya ke arah Joon. “Betul kan?” kata Joon ke Jo Soo.
“Dia sangat agresif. Aku dengar dia sangat terkenal saat ini,” kata Jo Soo.
Gadis itu masih terus melambai-lambaikan tangannya, tapi Joon hanya memandangnya dengan sinis. Gadis itu kecewa karena Joon tidak membalas rasa ketertarikannya. Jo Soo melihat kejadian itu. Dia heran karena Joon tidak tertarik sama sekali pada sang model.
“Aku tidak pernah menggoda saat bekerja,” kata Joon diplomatis.
“Haha.. Sejak kapan?” tanya Jo Soo dengan muka tidak percaya.
Joon malas membalas, dia lalu minta istirahat 30 menit karena dia akan beristirahat di mobil. “Apa yang terjadi padanya?” Jo Soo heran melihat perilaku Joon. Dia lalu mengumumkan istirahat 30 menit.
Gadis model itu melihat kesempatan itu lalu langsung menyusul Joon yang berjalan menuju mobil. “Waaah...” kata Jo Soo dengan takjub.
Si model masuk ke mobil Joon. Saat Joon bertanya apa yang dia lakukan, gadis itu menjawab bahwa di luar terlalu dingin. (ya iyalah.. pake baju pengantin ga ada lengan & cuma ditutupi jaket bulu tipis gitu gimana ga dingin..)
“Aku tidak suka diganggu saat bekerja,” kata Joon dengan acuh.
“Aku tidak akan mengganggumu,” jawab gadis itu pantang mundur. Dia lalu meletakkan tangannya ke arah penghangat di mobil.
Gadis itu lalu mulai melancarkan rayuannya. (ya elah, di mana-mana cowok yang merayu, yang ini ceweknya yang merayu)
“Kau berbeda. Kau bisa memilih gadis mana pun yang kau ingini dalam waktu tiga detik (mulai muncul konsep tiga detik..). Kau dengan pujian itu,” puji model itu.
Joon menjawab bahwa itu hanya rumor. Gadis model itu merasa senang karena dia memiliki harapan. “Tapi.. Mengapa kau membiarkan rumor itu menyebar?” tanya gadis model itu lagi.
Joon mulai merasa kesal. “Siapa bilang bahwa rumor itu tidak benar? Aku hanya merasa malas. Aku membiarkan orang-orang berpikir aku playboy. Dengan cara itu gadis-gadis tidak akan mendekatiku.” Si model tersenyum-senyum.
“Aku merasa tidak nyaman dengan para gadis,” kata Joon.
“Mengapa?”
“Aku tidak percaya cinta. Cinta pertamaku membuatku sangat patah hati,” curhat Joon. Si model merasa bersimpati dan berkata bahwa dia juga mengalami hal yang sama. Joon melirik gadis itu dan tersenyum sinis. Dia lalu mengubah posisi badan dan menghadap ke gadis itu. “Tapi, aku tidak tahu kenapa aku merasakan rasa ini padamu. Aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya.”
Gadis itu merasa senang. Joon mendekat seakan-akan akan mencium gadis itu... Namun ada suara telepon.
Joon mencari-cari asal suara. Gadis model menunjuk-nunjuk kantong Joon.
“Aku?” Joon tidak merasa suara ponsel-nya seperti itu. Dia mengambil ponsel berwarna biru dan bergantungan kunci warna pink dari kantongnya. “Apa ini?” katanya heran.
Joon lalu keluar mobil dan mengangkat telepon.
“Halo,” kata Joon.
“Ah, jadi kau orang Korea,” kata suara di seberang telepon.
“Ya,” jawab Joon.
“Itu ponselku. Di mana kau mengambilnya?” tuduh pemilik ponsel.
“Aku tidak pernah mengambilnya. Aku baru saja sadar ponsel ini ada di kantongku.”
Gadis pemilik ponsel tidak percaya perkataan Joon.
Joon mulai kesal karena dia dituduh mencuri. Dia sendiri merasa heran bagaimana ponsel itu bisa di kantongnya. Gadis itu mengajak Joon bertemu agar ponsel-nya bisa dikembalikan kepadanya. “Siapa kau?” tanya Joon.
“Apa? Sejak kapan kau bertindak sejauh ini?” Ternyata pemilik ponsel itu Jung Ha-na. “Tunggu di situ. Aku akan segera ke sana.” Ha-na lalu menutup telepon.
Ha-na lalu berlari pergi. Teman-temannya mengikutinya dari belakang. “Ke mana?” tanya mereka.
“Seol Ho Dong! Aku harus bertemu seseorang. Ayo!” katanya, lalu berlari-lari pergi.
Kedua temannya mengikutinya. (kasian, temennya yang satu ga kuat lari.. hahaha..)
Di bis, Han Tae-seong (Kim Yeong-kwang) bertanya pada Ha-na besok akan pergi ke mana dan siapa yang akan ditemuinya sebelum kembali ke Korea.
Ha-na tidak mau memberitahu. Temannya yang agak berisi (aku perhalus ya.. hehehe...) mengomel karena Ha-na memiliki rahasia pada mereka, padahal mereka teman dekat sampai-sampai disebut Prajurit Dong Dae.
Teman Ha-na satunya, Han Tae-seong (Kim Yeong-kwang) ikut menggoda dengan mengatakan bahwa kalau begitu dia tidak perlu menyelidiki apa pun yang terjadi antara dia dan Ha-na. Teman yang berisi itu memutar bola matanya.
Joon melanjutkan rayuannya pada si model. Dia akan mencium gadis itu lagi, namun Jo Soo membuka pintu mobil dan mengabarkan bahwa pihak iklan menyuruh Joon menghentikan proses pengambilan gambar.
“Apa?” Joon tidak percaya.
Joon melakukan video chatting dengan pihak iklan. (Yang jadi sponsor pemeran Direktur Park, musuh Kim Joo-woon di Secret Garden.. Aku ga tau nama aslinya... hehehe). Joon bertanya mengapa proses pengambilan gambar dihentikan tiba-tiba.
“Hai, Seo. Wow! Lihat kualitas videonya. Bagaimana wajahku?” tanya pihak iklan tanpa bersalah. (Peran orang ini selalu menyebalkan ya...)
Joon kesal karena pihak iklan tidak serius. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Joon lagi. “Ummm...” Pihak iklan minum dulu sebelum menjawab. “Aku pikir pengambilan gambar lebih bagus di Seoul. Konsep Ratu Salju terlalu tua. Ekspresi dingin dengan mengenakan tiara. Sudah tua.”
“Lalu?” Joon merasa kesal karena tidak segera diberi jawaban.
“Aku mendapat ide..” Pihak iklan lalu menyuruh asistennya mengambil majalah dengan menjentikkan jari. Pihak iklan lalu menunjukkan sebuah foto wanita dengan memakai baju berumbai-rumbai dan kalung mutiara di majalah. “Bisakah kau menghasilkan foto seperti ini?”
Joon memandang foto itu dengan tidak percaya.
“Foto ini sangat cocok dengan gambaran produkku,” lanjut pihak iklan.
Joon menutup wajahnya dengan tangan.
“Buat foto seperti ini dan hasilnya akan bagus,” perintah pihak iklan.
“Kau ingin aku mem-plagiat?” tanya Joon dengan tidak percaya. (wah, cocok banget nih kata buat para copaser.)
“Tidak, bukan begitu,” jawab pihak iklan dengan salah tingkah. “Sebut saja ini penghormatan. Setiap orang punya sosok yang dihormati.”
Joon kesal. Dia lalu bangkit berdiri. “Penghormatan apanya..,” omel Joon.
Jo Soo berusaha menenangkan Joon. “Ada apa?” tanya pihak iklan.
Jo Soo menggantikan Joon telekonferensi.
“Dia tidak akan memutuskan telekonferensi secara sepihak kan?” tanya pihak iklan mengancam. “Aku rasa sambungannya putus,” elak Jo Soo.
“Dia sangat percaya diri dengan hasil pekerjaannya. Semua orang tahu itu. Kau tahu bahwa untuk sukses membutuhkan lebih dari percaya diri kan? Dia langsung terkenal saat dia memulai debut di New York dengan foto-foto kotornya. Tidak ada seorang pun yang akan bekerja sama dengannya,” kata pihak iklan pada Jo Soo dengan kesal.
“Apa yang kau ketahui tentang seni?” kata Joon kesal.
Jo Soo berusaha menenangkan Joon lagi.
“Dan aku melihat hasil kerjanya. Tidak ada sesuatu yang baru. Aku rasa tarifmu sedikit..” Joon marah lalu langsung menutup layar laptop sehingga sambungan terputus. Pihak iklan memanggil-manggil Joon. Dia bertanya pada asistennya apa yang terjadi. (yah, keren-keren, gaptek.. Sambungannya diputus Pak, mangkanya layar jadi gelap...)
Jo Soo berlari-lari memanggil Joon. Dia berusaha menghalangi niat Joon menolak pekerjaan itu karena bila pekerjaan itu mereka tolak, mereka akan bangkrut.
“Siapa yang akan bangkrut? Aku Seo Joon!” kata Joon percaya diri.
“Ya, Seo Joon. Kau punya sesuatu yang disebut warisan keluarga. Tapi aku punya sesuatu yang disebut hutang keluarga. Dan..” Perkataan Jo Soo terputus saat ada telepon masuk.
Yang menelepon adalah pihak iklan. Jo Soo kebingungan.
“Jangan angkat. Aku akan mengurusnya,” perintah Joon.
“Apakah kau hanya akan menerima pekerjaan hanya untuk perusahaan ibumu saja?”
“Jangan angkat!” perintah Joon lagi.
Jo Soo tetap mengangkat telepon dan langsung berlari menjauh dari Joon.
“Hei!” teriak Joon. “Orang bodoh itu..” Joon kesal. Dia lalu menendang salju di sekitarnya. “Aaarrgghh...”
Ponsel Ha-na berbunyi lagi. Joon semakin kesal. “Halo? Siapa kau?!” bentaknya.
“Hah? Aku orang yang meneleponmu tadi,” jawab Ha-na. “Di mana posisimu?”
“Kami sudah pulang. Maaf,” kata Joon tanpa merasa bersalah.
“Bagaimana kau bisa menyuruhku ke sini dan kau malah pulang?” tanya Ha-na tidak percaya.“Kau pikir aku sendiri yang mau pulang? Kalau kau serius mau mengambil ponsel-mu, kau seharusnya datang lebih awal,” jawab Joon masih dengan kesal.
“Aku datang secepat yang aku bisa,” bantah Ha-na.
“Kau terlambat.”
“Apakah kau tidak terlalu kasar?” tanya Ha-na mendengar nada suara Joon.
“Tidak. Kau seharusnya menyalahkan dirimu karena tidak datang tepat waktu. Juga, kau sendiri yang menghilangkannya. Kenapa aku harus menunggumu? Kalau kau merasa kesal, aku akan membuangnya. Kau bisa melakukan apapun yang kau suka.” Joon menjawab dengan kasar. “Jangan! Aku akan ke tempatmu lagi.”
“Lagi?” tanya teman Ha-na yang tubuhnya agak berisi dengan tidak percaya, kemudian menghembuskan nafas, mengeluh (dia udah kecapekan lari cepet-cepet hehehe).
“Jadi, di mana kau sekarang?” tanya Ha-na.
Joon menutup telepon, kemudian memanggil Jo Soo yang sedang berbicara dengan pihak iklan. Jo Soo mendatangi Joon dengan sedikit takut.
“Apa kau sudah memberitahunya bahwa aku akan melakukan apa yang aku mau?” tanya Joon. “Dia bilang dia akan datang sendiri kemari besok.”
Joon kesal karena Jo Soo tidak bisa membereskan masalah dengan pihak iklan. Dia menyuruh Jo Soo mengemasi barang.
“Kau akan lari?” tanya Jo Soo tidak percaya.
Ha-na merasa kesal, tapi dia tetap menuju tempat Joon.
“Ayo,” katanya pada Tae-seong dan temannya yang berisi.
Teman Ha-na yang tubuhnya agak berisi berlari juga, tapi terjatuh karena tersandung dan tidak kuat. (hahahaha... Kasian.. sebenarnya cowok ini yang jadi korban...)
Di mobil dalam perjalanan menuju hotel, Joon menelepon asistennya yang lain di Seoul dan menyuruhnya memberitahu pihak iklan bahwa mereka tidak perlu ke sana. Dia akan memikirkan tema lain dan tidak akan memplagiat hasil pekerjaan fotografer lain. Jo Soo mengeluh karena mereka berada dalam situasi sulit. Dia meragukan apakah Joon bisa memperoleh tema pemotretan yang lain atau tidak.
“Diamlah! Aku sedang berpikir,” kata Joon.
“Anak dari keluarga kaya sepertimu mungkin tidak akan terluka bila tidak mendapatkan pekerjaan. Tapi ini bencana besar bagiku,” keluh Jo Soo.
Joon ingin mengatakan sesuatu namun menahannya. Dia lalu memandang keluar jendela mobil sambil berpikir.
Joon sudah sampai di kamar hotelnya. Ponsel Ha-na kembali berbunyi. Di saat bersamaan Jo Soo masuk kamar sambil membawa barang-barang Joon. Joon melemparkan ponsel ke Jo Soo dan menyuruh Jo Soo mengangkat telepon dan mengurusnya. Ha-na marah-marah di seberang telepon karena lagi-lagi Joon pergi.
“Kau sudah mempermainkannya dua kali?” tanya Jo Soo pada Joon dengan tidak percaya. “Kau ingin aku melakukan apa?”
Joon hanya mengedikkan bahu dengan tidak peduli.
Jo Soo berusaha menjelaskan bahwa bukan dia yang tadi menyuruh Ha-na. Dia menyuruh Ha-na ke hotel dan langsung menjauhkan telepon karena Ha-na marah-marah lagi. “Hei, tutup saja teleponnya. Kita ada pesta staf malam ini,” kata Joon. “Oh ya, jangan lupa ajak model itu juga.”
Ha-na menutup telepon dengan marah.
Temannya yang berisi berusaha membujuknya agar besok saja mengambil telepon itu. Mereka lebih baik pergi ke Tomitapam seperti yang sudah direncanakan.
“Aku akan membunuhnya,” kata Ha-na berbicara sendiri dengan marah.
“Atau kita ambil saja telepon itu sekarang,” kata temannya lagi dengan ketakutan.
Ha-na menunggu bis di halte. Dia kasihan melihat teman-temannya. Dia menyuruh mereka mencari tempat menginap duluan. Teman-temannya setuju. Tae-seong mengingatkan Ha-na bahwa mereka besok akan pergi ke gunung untuk melihat Salju Berlian berdua saja bila teman mereka yang agak berisi itu tidak mau ikut.
“Bukankah ada mitos yang mengatakan bahwa bila hanya dua orang saja yang melihat Salju Berlian, mereka akan saling jatuh cinta?” kata teman Ha-na yang berisi. (hmm, aroma cinta nih...) Dia langsung dipeluk dan ditutup mulutnya oleh Tae-seong. Bis Ha-na datang, dia lalu pamit naik bis. Tae-seong memberikan ponselnya ke Ha-na sebelum naik bis agar Ha-na bisa berkomunikasi dengan mereka.
Jo Soo sedang tertawa-tawa sambil melihat telepon Ha-na. Dia langsung menyembunyikannya saat Joon datang.
Joon bertanya apa Ha-na cantik, namun Jo Soo belum menemukan foto Ha-na. Dia lalu menunjukkan tebakan di ponsel Ha-na, namun Joon tidak merasa itu lucu.
Jo Soo mengubah topik pembicaraan dan bertanya apa Joon sedang bersiap-siap ke pesta, lalu dia sendiri juga siap-siap.
Joon membuka-buka ponsel Ha-na yang ditinggalkan di kursi oleh Jo Soo. Dia terkejut karena saat membuka kunci ponsel Ha-na yang muncul adalah gambar setan. “Apa dia anak-anak?” omel Joon.
Dia sendiri tertawa-tawa saat melihat jawaban tebakan-tebakan di ponsel Ha-na. Joon terus membuka-buka foto-foto Ha-na. “Apa dia tidak punya foto dirinya?” kata Joon karena tidak segera menemukan foto Ha-na.
Dia membuka video bernama With Love dan terkejut saat melihat gambar pepohonan dikelilingi salju yang ditimpa cahaya matahari. (sepertinya dia mendapat inspirasi..)
Ha-na turun dari bis dan hampir terserempet mobil saat berjalan.
Ternyata itu mobil Joon dan Jo Soo. Jo soo langsung turun dan mengajaknya berbicara dengan bahasa Jepang. Ha-na juga menjawab dengan bahasa Jepang.
Joon yang mengira Ha-na orang Jepang menyuruh Jo Soo segera masuk karena Ha-na yang memakai baju tertutup itu sepertinya baik-baik saja dengan menggunakan bahasa Korea.
Ha-na kesal. Saat Jo Soo memberi Ha-na kartu nama, Ha-na menjawab bahwa dia akan menghubungi mereka bila ada masalah dengan baju tertutupnya dengan menggunakan bahasa Korea juga.
Joon salah tingkah. Jo Soo juga terkejut karena Ha-na ternyata orang Korea. Dia meminta maaf lagi. Ha-na menasihati Jo Soo agar menyetir lebih hati-hati lagi di negara lain sambil melirik Joon.
Joon hanya diam saja, pura-pura tidak dengar.
Ha-na sampai di hotel, namun teleponnya tidak diangkat. (yah, ditinggal lagi sama si Joon.. ckckck..)
Ha-na akhirnya menunggu di lobi hotel.
Sementara itu, Joon dan para staf lain sedang berpesta di sebuah restoran.
Joon main mata dengan si model. Model itu lalu berdiri dan meminta tukar tempat duduk dengan Jo Soo yang duduk di sebelah Joon. Joon dan si model lalu bermesraan dan saling memuji seperti sepasang kekasih. (dasar Joon playboy...)
Pesta para saf lalu pindah ke sebuah karaoke. (ada staf banci, nempel terus sama Jo Soo hahaha..)
Ha-na masih menunggu Joon sambil duduk di lobi hotel. Dia terus berusaha menelepon ponsel-nya, namun tidak ada hasil.
Di tempat karaoke, Joon memberi kode si model agar keluar bersamanya.
Ha-na marah-marah karena teleponnya tidak diangkat juga. Dia lalu merasa malu karena diintip oleh resepsionis yang mendengar Ha-na marah-marah.
“Tunggu saja sampai aku melihatnya,” ancam Ha-na.
Ha-na mengantuk dan tertidur di kursi. Namun dia langsung terbangun dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 9.
Hana lalu mendapat ide saat melihat resepsionis kosong. Dia naik ke semua lantai dan menelepon ponsel-nya lalu menguping di pintu-pintu kamar hotel dengan harapan dia bisa menemukan ponsel-nya.
Dia sampai di kamar Joon dan mendengar suara ringtone ponsel-nya. Dia menggedor-gedor kamar Joon. Namun tidak ada yang membuka karena Joon sedang pesta dengan yang lain. “Mau berapa kali dia melakukan ini?” kata Ha-na dengan marah.
Ha-na tidak sengaja memegang gagang pintu dan pintu kamar Joon terbuka. (Joon ceroboh..). Dia langsung masuk. “Permisi. Apakah ada orang?” tanya Ha-na khawatir dianggap pencuri karena masuk tanpa ijin.
Dia melihat tidak ada orang lalu menelepon ponsel-nya. Dia merasa senang karena menemukan kembali ponsel-nya.
Dia akan keluar kamar, namun berhenti. “Aku sudah menunggu lama. Aku tidak bisa langsung pulang,” kata Ha-na dengan muka merencanakan sesuatu.
Ha-na masuk ke kamar mandi dan memindahkan lampu ke depan wastafel. Dia lalu menulis di cermin wastafel menggunakan lipstick berwarna merah menyala.
Dia sudah selesai dan akan keluar kamar saat Joon dan si model masuk kamar.
Ha-na yang kaget masuk lagi ke kamar mandi. Dia kebingungan. Apalagi saat dia melihat bahwa Joon dan si model akan melakukan sesuatu yang tidak pantas melalui kaca kamar mandi. Ha-na menjerit.
Di saat bersamaan Joon dan si model yang melompat ke ranjang juga kesakitan karena tubuh mereka menabrak barang-barang yang diletakkan Ha-na di bawah bed cover. (hahaha.. Pinter juga akal si Ha-na)
Si model keceplosan bicara bahwa apa mungkin yang melakukannya adalah pacarnya.
“Kau punya pacar?” tanya Joon.
“Ah, tapi ini tidak mungkin dia. Dia tidak mungkin meletakkan buku di bawah bed cover. Dia akan meletakkan pisau.”
Joon mulai merasa seram. Dia lalu minta ijin ke kamar mandi... Dan hampir bertabrakan dengan Ha-na.
Mereka berdua menjerit. Ha-na yang kebingungan menjelaskan alasan keberadaannya akhirnya ingat bahwa dia bertemu dengan Joon saat dia hampir terserempet.
Si model menuduh Ha-na pencuri.
Ha-na tidak terima lalu menunjukkan ponsel-nya dan mengomel karena Joon mempermainkannya dengan menyuruhnya datang ke Lapangan Horano, Hotel, dan akhirnya dia ke kamar Joon.
Joon merebut ponsel di tangan Ha-na. “Jadi ini alasan kau meletakkan ponsel di kantongku?”
Ha-na akan merebut ponsel kembali namun Joon menjauh. Mereka berkejaran hingga jatuh di ranjang. Joon berada di atas Ha-na. Si model kebingungan dan bertanya apa yang harus dia lakukan.
“Kau pergi saja. Aku akan membereskan di sini,” perintah Joon. Saat si model masih kebingungan, Joon mengingatkan bahwa dia bisa saja dibunuh pacarnya. Akhirnya si model pergi keluar dengan panik.
Ha-na masih memberontak. Joon memegangi tangan Ha-na dan tersenyum licik.
Jo Soo masuk ke kamar dan mengira Joon ada di kamar.
Namun ternyata kamar kosong dan dalam kondisi berantakan. “Ada apa ini?”
Jo Soo mulai khawatir. Dia masuk ke kamar mandi dan menjerit, “Aaaaaaaa!!!”
Di wastafel ada cairan berwarna merah darah. Cermin belepotan krim cukur dan ada tulisan berwarna merah, “Apa aku terlihat seperti manusia bagimu?”
Jo Soo syok dan jatuh terduduk, tidak bisa berbuat apa-apa. (hahahahahahahaha...)
Di mobil, Ha-na mengomel karena perlakuan Joon padahal dia tidak bersalah. Dia hanya ingin mengambil ponsel-nya.
Joon tidak mempedulikan perkataan Ha-na. Dia justru bertanya apa yang dilakukan Ha-na di Sapporo. “Aku bersekolah di sini,” jawab Ha-na masih dengan kesal.
“Tingkat berapa?”
“Aku akan segera lulus dan kembali ke Korea.”
“Oh ya? Tidak akan ada masalah kalau kau didepak ke Korea kalau begitu.”
“Apa? Jangan!” Ha-na khawatir dia akan dilaporkan ke polisi.
“Apa yang bisa kau lakukan untukku?”
“Apa?” Ha-na bingung.
“Apa yang akan kau lakukan untukku agar aku tidak pergi ke kantor polisi?”
“Aku akan melakukan apapun,” jawab Ha-na dengan sungguh-sungguh.
Mobil Joon berhenti di pinggir jalan.
“Kenapa kau menghentikan mobil?” tanya Ha-na heran.
Joon mendekatkan wajahnya ke Ha-na.
Ha-na mulai ketakutan. “Aku tidak bermaksud begini saat aku bilang aku akan melakukan apapun.” Joon membuka video gambar pemandangan salju yang membuat Joon tertarik. “Apa ini?” tanya Joon.
“Salju Berlian?” Ha-na heran.
Mobil Joon menuju ke pegunungan. Namun jalan ternyata ditutup.
“Apa lokasinya jauh dari sini?” tanya Joon.
“Masih sedikit jauh. Tapi aku melihat pemandangan itu saat pagi hari,” kata Ha-na sambil melihat ke langit.
“Baiklah kalu begitu.” Joon lalu memundurkan kursi mobilnya dan akan tidur.
Ha-na melihat Joon yang menutup matanya. “Jangan bilang kita akan menunggu di sini sampai pagi.” Joon membuka mata dan meliha ke arah Ha-na. “Kau tidak bilang bahwa aku harus pergi ke sana seorang diri kan?”
“Kita kembali ke hotel saja, lalu kembali lagi ke sini,” saran Ha-na.
“Kita tidak ada waktu. Kita tunggu saja di sini.”
“Tapi kenapa harus aku?”
“Kalau aku tidak menemukan tempat itu, aku hancur,” kata Joon singkat tanpa memberi penjelasan. (hahaha.. Joon juga takut kalau dia ga dapet pekerjaan itu ternyata..) Ha-na masih ingin bertanya lagi, namun Joon menyuruhnya diam karena dia mau tidur. Ha-na kesal lalu dia juga tidur.
Pagi sudah tiba. Joon keluar dari mobil.
“Udaranya dingin, tutup pintunya,” kata Ha-na lalu kembali tidur.
“Kau tidak keluar?”
“Aku sudah bilang padamu. Aku tidak akan mau melihat Salju Berlian bersamamu.”
“Betulkah?” kata Joon. Dia lalu mengeluarkan ponsel Ha-na dari kantongnya. “Aku tidak punya pilihan kalau begitu.” Dia akan melempar ponsel Ha-na. “Stop!” teriak Ha-na panik. Dia lalu keluar dari mobil.
“Tunggu saja sampai aku mendapatkan ponselku kembali,” omel Ha-na dengan suara pelan. “Apa?” tanya Joon.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Ha-na.
Ha-na melihat pakaian Joon. “Apa kau akan berpakaian seperti itu? Kau akan membeku,” kata Ha-na mengingatkan.
“Apa kita akan memburu beruang kutub atau sejenisnya?” tanya Joon meremehkan. “Kau membungkus dirimu dengan segala macam yang kau temukan. Di mana selera fashionmu?”
“Kemampuan bertahan diutamakan lebih dulu sebelum fashion,” balas Ha-na.
“Apa kau tahu kenapa baju mahal berharga mahal?” tanya Joon. “Baju mahal tipis, ringan, dan penuh gaya. Tapi mereka juga menjagamu tetap hangat.” Dia lalu membetulkan bajunya agar terlihat keren.
Ha-na hanya mencemoohnya. “Apa kau tidak pergi?” tanya Joon.
Ha-na berjalan cepat, sedangkan Joon mulai kelelahan dan kedinginan. Dia berjalan jauh di belakang Ha-na. “Hei, berapa lama lagi kita akan berjalan?” tanya Joon.
“Sedikit lagi. Cepatlah!” Ha-na berjalan lagi, namun berhenti dan menoleh. “Kau tidak kedinginan kan?” tanya Ha-na dengan mengejek.
“Aku tidak kedinginan,” bantah Joon.
“Tentu saja kau tidak kedinginan. Kau memakai baju yang mahal, dan bermerk,” lanjut Ha-na. Joon tidak bisa membalas.
“Kau kedinginan kan?”
“Aku bilang aku tidak kedinginan!” bentak Joon tidak mau mengaku.
Ha-na tersenyum mengejek lalu berjalan lagi. Joon melanjutkan berjalan juga, namun baru satu langkah dia tersandung. Ha-na tertawa.
“Apa kau menertawakanku?” tanya Joon.
Ha-na hanya menggeleng dan menyuruh Joon lebih cepat. Dia lalu berjalan lagi.
Joon berdiri dan berjalan dengan tertatih-tatih. (khas anak orang kaya..)
Joon berjalan semakin jauh di belakang Ha-na.
Mereka akhirnya sampai. “Cepatlah! Kita sudah sampai,” kata Ha-na.
“Tempatnya bukan di sini. Mana Salju Berlian-nya?”
“Belum ada. Kau bisa melihatnya kalau matahari sudah terbit.”
“Dan kapan matahari terbit?”
“2 jam lagi?” kata Ha-na dengan santai. “Sebenarnya aku tidak yakin. Mungkin bisa lebih lama lagi.”
“Hei! Lalu apa yang kita akan lakukan sampai matahari terbit?” tanya Joon. (gentian dia yang tanya.. hahaha) “Melakukan apa? Kita harus menunggu,” jawab Ha-na tanpa merasa berdosa. Joon kedinginan. Dia memandangi Ha-na.
“Apa?” tanya Ha-na.
“Lepaskan,” perintah Joon.
“Apa?”
“Aku bilang, lepaskan.”
“Apa maksudmu?”
“Aku kedinginan,” aku Joon akhirnya. “Aku orang penting. Berbeda denganmu, bila aku sakit, akan menjadi masalah serius.” Joon masih tidak mau terlihat lemah.
“Tidak mau. Bagiku, aku orang yang penting.”
Joon memandangi Ha-na, lalu mengambil ponsel Ha-na. “Aku berpikir apakah kau bisa menemukan ponselmu bila aku melemparnya di sini.”
“Baiklah,” kata Ha-na akhirnya. Dia khawatir ponselnya tidak akan kembali ke tangannya.
Ha-na akhirnya melepas jaketnya yang berwarna pink. Joon masih mengeluh karena jaket itu terlalu tipis dan minta tukar dengan jaket yang lain.
Namun Ha-na tidak mau menukar karena dia sendiri kedinginan.
“Sarung tangan?” tanya Joon.
“Aku tidak punya. Tanganku sudah hangat,” kata Ha-na membanggakan diri sendiri.
Joon mulai memakai jaket Ha-na.
“Aku akan membunuhmu bila aku sudah mendapatkan ponselku kembali,” omel Ha-na dengan suara pelan. “Aku bisa mendengarmu,” kata Joon.
Ha-na hanya tersenyum manis. (hahaha.. Lucu ngeliat tingkah laku mereka..)
Mereka menunggu matahari terbit.
Sambil menunggu, Ha-na membuat taruhan. Bila Joon bisa menebak 5 dari 10 tebakan dengan benar, Ha-na akan melakukan apapun untuk Joon.
Joon dengan percaya diri mengatakan dia bisa langsung menebak 5 tebakan dengan benar. (ya iyalah, dia udah baca tebakan di ponsel Ha-na)
Ha-na mulai memberi tebakan dan Joon langsung menebak 5 tebakan dengan benar. Ha-na langsung tahu Joon sudah membaca tebakan itu di ponsel-nya. “Itu tidak adil! Kau mencontek!” kata Ha-na.
“Aku tidak mencontek. Kau juga tidak menyebutkan peraturan tidak boleh mencontek,” bantah Joon.
Ha-na kesal karena Joon menang dengan curang, namun dia akhirnya mengikuti peraturan yang sudah mereka buat.“Apa yang kau inginkan?” tanya Ha-na.
Joon menyodorkan tangannya. “Apa? Kau ingin aku memegangnya? Untuk apa?”
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Kau bahkan tidak kuanggap wanita. Kau tahu apa nama panggilanku? Pemikat hati tiga detik.”
“Pemikat hati tiga detik? Apa? Gadis-gadis?” Ha-na mengejek.
“Tanganku seharusnya tidak pernah membeku. Kau bilang kau bahkan tidak perlu sarung tangan. Jadi pegang tanganku.”
Ha-na kesal, namun akhirnya memegang tangan Joon dan memasukkan ke kantong jaketnya.
“Ah, itu lebih baik,” kata Joon lega. Ha-na bertanya apa pekerjaan Joon sehingga tangannya tidak boleh membeku. “Fotografer,” jawab Joon bangga.
“Jadi itu alasanmu minta ke sini. Kau mau mengambil gambar?”
Joon tidak menjawab dan balik bertanya, “Kenapa kau tidak mau ke sini bersamaku?”
“Ada mitos. Mereka bilang dua orang yang melihat Salju Berlian bersama akan saling jatuh cinta. Tapi itu hanya mitos. Banyak pasangan yang kemari.”
Joon terlihat berpikir. “Apa yang akan terjadi bila kita melihat bersama?” tanya Joon.
“Tidak akan terjadi apa-apa.”
“Tentu saja tidak akan terjadi apa-apa. Kita tidak akan saling jatuh cinta.”
“Pasti,” kata Ha-na dengan yakin.
Ha-na melepaskan tangan Joon. “Sudah hangat kan?”
Joon memasukkan tangannya ke jaketnya sendiri.
“Kau ingin ke sini bersama siapa? Di folder ponselmu, kau memberinya judul ‘With Love’. Tidakkah kau ingin melihatnya bersama orang yang kau cintai juga?”
Ha-na merasa malu dan berusaha merebut ponselnya yang dikeluarkan Joon. Karena sibuk bertengkar, Joon terjatuh ke lubang. Tangannya terkilir.
Ha-na khawatir. “Apa kau tidak apa-apa?”
“Kalau sampai tanganku terluka dan aku tidak bisa mengambil gambar, kau akan membayarnya,” ancam Joon.
Joon menjulurkan tangannya dan meminta ditarik.
Ha-na menyodorkan tangannya seakan-akan akan menarik Joon namun langsung menarik tangannya saat Joon akan meraih tangannya.
“Ponsel,” kata Ha-na.
“Apa?”
“Berikan kembali ponselku,” kata Ha-na. “Kau tidak mengembalikan ponselku agar aku mau mengantarmu melihat Salju Berlian.”
“Bagaimana bila kau berlari setelah aku mengembalikan ponselmu?”
“Apakah aku kelihatan seperti orang tidak bertanggung jawab?” tanya Ha-na balik.
Joon berpikir, lalu mengembalikan ponsel Ha-na. Dia meminta Ha-na menariknya sekarang. Namun Ha-na berlari menjauh.
Joon mulai panik. “Hei! Hei!”
“Kalau aku menarikmu, kau akan mengambil ponselku lagi. Aku akan turun dan memberitahu orang-orang di bawah agar mereka bisa menarikmu,” kata Ha-na.
Ha-na lalu pergi. Joon dengan marah berusaha naik. Dia berpengangan di pohon dan akhirnya bisa naik.
Joon lalu mencari-cari Ha-na.
“Hei! Di mana kau?” teriak Joon.
Joon akhirnya menemukan Ha-na yang sedang terpana melihat Salju Berlian. (efek komputernya terlalu kentara menurutku..)
Joon langsung mengambil foto-foto Berlian Salju. Saat berhenti, dia meihat Ha-na yang tersenyum senang memandangi Berlian Salju sambil tertawa senang. Joon memotret Ha-na juga.
Ha-na merasa Joon memotretnya. Namun Joon berdalih bahwa badan Ha-na menghalangi gambar yang Joon ambil dan menyuruh Ha-na bergeser.
Ha-na bergeser. Joon mengambil gambar Berlian Salju lagi. Namun saat Ha-na melihat Berlian Salju lagi, Joon mengambil gambar Ha-na lagi.
Dia lalu tersenyum melihat hasil potretannya.
“Anggap ini suatu kehormatan karena melihat Berlian Salju bersamaku,” kata Joon dengan angkuh lalu mengambil gambar lagi.
Ha-na tidak bisa berkata apa-apa.
Ha-na mengambil ponselnya lalu mengambil gambar Berlian Salju juga dengan kamera ponselnya.
Ha-na dan Joon kembali ke mobil. Ha-na merasa senang karena akhirnya dia bisa melihat Berlian Salju. Dia akan memeriksa lengan Joon, namun badan Joon gemetaran karena Joon demam. Akhirnya Ha-na yang menyetir.
Joon bertanya apa ada tempat yang hangat di dekat situ.
Ha-na berpikir sambil terus menyetir. Tiba-tiba mobil berhenti karena kehabisan bensin. Ha-na menyalahkan Joon yang menyalakan mesin semalaman.
Joon meminta ponsel Ha-na. Saat Joon menekan nomer di ponsel Ha-na, Ha-na melihat plang penunjuk pemandian air panas.
Jo Soo bangun setelah semalaman tidur di sofa, namun Joon masih belum kembali.
Ayah Seo Joon, Seo In-ha, menelepon ke ponsel Joon yang tertinggal di kamar hotel. Jo Soo mengangkat teleponnya.
“Halo, Professor,” jawab Jo Soo.
“Aku dengar Joon ada pemotretan di Jepang. Aku di Hokkaido sekarang. Beritahu dia aku meneleponnya,” kata In-ha.
In-ha memandang keluar kamar hotel sambil merenung.
Di kamar hotel, Jo Soo panik karena Joon tidak segera kembali.
Dia mulai berpikir yang tidak-tidak, seperti hantu lah yang menculik Joon. (kok aku merasa seperti melihat Kim Joo-won dan sekretaris Kim, ya?)
Ponsel Joon bordering. Ternyata Joon yang menelepon.
Joon dan Ha-na menuju pemandian air panas.
Joon merasa aneh karena ada pemandian air panas tanpa pemilik.
Ha-na menyuruh Joon segera masuk ke air karena dia bilang dia kedinginan.
Joon menyuruh Ha-na masuk ke air juga, namun Ha-na tidak mau. “Kau tidak punya sesuatu yang harus kau sembunyikan,” ejek Joon.
Joon lalu turun ke bawah dan menyuruh Ha-na memegang selimut yang dia pakai untuk menutupi tubuhnya. “Kau tidak punya sesuatu yang harus kau sembunyikan,” balas Ha-na. “Aku punya banyak hal yang kau sembunyikan,” kata Joon.
“Betulkah?” Ha-na menggoda Joon dengan menurunkan selimut sedikit dan akan mengintip.
Ha-na akhirnya duduk di samping Joon yang masuk ke kolam air panas.
Joon bertanya bagaimana dia bisa menemukan kolam air panas ini.
“Aku ingat dulu pernah ke sini saat ada pelatihan,” jawab Ha-na.
“Pelatihan? Apa jurusanmu?” tanya Joon.
“Pertanaman,” jawab Ha-na. (Kalo di sini mungkin pertanian ya?)
Saat Joon melihat pemandangan bagus, Joon menyuruh Ha-na mengambil kamera di mobil Joon. Ha-na awalnya tidak mau, namun Joon mengancam akan membuang ponsel Ha-na yang diletakkan di pinggir Joon. Akhirnya Ha-na mengambilkan kamera Joon.
Saat Joon sedang memotret, Ha-na diam-diam akan mengambil ponselnya. Namun, Joon keburu menoleh. Ha-na kaget dan tepeleset sehingga dia masuk kolam.
Joon langsung mengambil ponsel Ha-na, namun terpeleset juga sehingga ponsel Ha-na tercebur. Joon berusaha menyelematkan kameranya.
Kamera Joon selamat, namun ponsel Ha-na rusak.
Joon merasa bersalah. “Maaf,” katanya.
”Ini gara-gara kau. Padahal ada orang penting yang akan meneleponku,” keluh Ha-na dan ingin menangis.
In-ha sedang diwawancara oleh para wartawan. Sesi wawancara akhirnya selesai.
Penerjemah In-ha memberi tahu In-ha bahwa hari ini ada mahasiswa dari luar negeri yang ingin bertemu dengan In-ha. Dia bertanya apakah In-ha ada waktu sore ini atau tidak. In-ha menyetujuinya.
Ha-na masih berusaha membetulkan ponselnya namun tanpa hasil.
Joon merasa bersalah namun tidak mau menunjukkannya. Dia bertanya siapa orang yang ditunggu teleponnya oleh Ha-na.
Ha-na diam saja.
“Kau tidak perlu memberitahuku kalau kau tidak mau,” kata Joon.
“Apa kau tidak takut padaku?” tanya Joon lagi.
“Kenapa?”
“Aku bisa memikat hati para gadis dalam waktu tiga detik.”
“Aku tidak percaya.”
“Itu benar,” kata Joon. Ha-na diam saja.
Joon lalu bergeser mendekati Ha-na.
“Aku tidak percaya pada cinta. Ayahku selalu menderita karena dia tidak bisa melupakan cinta pertamanya. Dan ibuku tidak bahagia. Dan aku.. Aku pikir aku tidak mau mencintai seseorang seperti itu. Tapi...” Joon memandang Ha-na (mulai deh ngerayu..). “Setelah bertemu denganmu, aku merasakan cinta untuk pertama kalinya.”
Ha-na memandangi Joon.
Joon mulai menghitung. “Satu detik. Dua detik. Tiga detik.”
Namun tidak ada reaksi dari Ha-na. (hahahahahaha...)
Joon membalikkan badan dengan kesal karena rayuannya tidak berhasil.
“Apa kau seorang wanita?”
“Apa?”
“Kalimat penting di sini adalah, setelah bertemu denganmu, aku merasakan cinta untuk pertama kalinya. Normalnya, saat seorang pria tampan sepertiku mengatakan bahwa aku jatuh cinta untuk pertama kalinya setelah bertemu denganmu, para gadis akan jatuh cinta kepadaku. Kenapa para gadis menyukai sekali kata ‘pertama’?”
Ha-na gentian mendekati Joon. “Ibuku tidak pernah melupakan cinta pertamanya selama hidupnya. Tapi dia mengatakan bahwa kenangannya membuatnya bahagia. Aku ingin merasakan cinta seperti itu juga.” Joon terpana memandang Ha-na.
Ha-na lalu mendekati Joon sambil menghitung. “Satu detik. Dua detik. Tiga detik.”
Joon masih diam saja. “Seperti begitukah?” tanya Ha-na.
Joon masih diam saja.
“Ada apa? Bukankah begitu caramu memikat hati wanita?” goda Ha-na lagi.
Tiba-tiba Joon memeluk Ha-na.
“Ada apa?” Ha-na meronta.
“Tahan sebentar.”
Ha-na mendorong Joon hingga lepas. “Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah gila?”
Joon masih diam saja sambil terus memandangi Ha-na. “Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini,” kata Joon dengan serius.
Joon lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Ha-na.
Ha-na menutup matanya.
-Bersambung-
No comments:
Post a Comment